By KANTOR HUKUM SUTOMO, S.H. & REKAN
09/29/2010
Oleh SUTOMO
Andai
penulis melihat praktik korupsi saat ini, entah di instansi lain atau
di institusi sendiri, rasanya berpikir seribu kali sebelum melaporkannya
ke penegak hukum. Bahkan, setelah berpikir seribu kali pun, bisa jadi
akhirnya urung melapor. Mengapa?
Hitungannya harus cermat betul sebelum melaporkan kasus korupsi orang
lain. Karena bisa-bisa justru jadi target. Alih-alih terlapor yang masuk
penjara, eh, malah diri sendiri sebagai pelapor yang jadi bulan-bulanan
dan masuk penjara duluan. Lihatlah kasus Susno Duadji.
Tulisan ini bermaksud ikut menyuarakan kegelisahan publik perihal betapa
rawannya arah pemberantasan korupsi di negeri ini pada masa mendatang.
Oleh karena para pemukul kentongan atau peniup peluit (whistleblower),
yang melaporkan kasus korupsi di institusinya, sama sekali tidak
mendapat perlindungan hukum secara berarti.
Bahkan, perlindungan saksi dan pelapor yang digadang-gadang oleh UU No
13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dalam praktik, ternyata
nonsen. Khususnya ketika berhadapan dengan cabang kekuasaan lain,
semisal polisi.
Kurang apa Susno Duaji. Ia seorang jenderal polisi berbintang tiga
berpangkat Komisaris Jenderal Polisi, mantan Kabareskrim, dan
jaringannya luas. Tapi yang terjadi ia justru meringkuk di dalam jeruji
besi setelah melaporkan indikasi mafia hukum di institusinya sendiri.
Mengutip Saldi Isra (Kompas, 3/6/2010), ia dulu dijerat kasus A,
sekarang B dan C. Tapi itu semua permainan saja.
Kasus Susno ini benar-benar edan. Bayangkan saja. Ia ditetapkan sebagai
tersangka dan ditahan berdasarkan keterangan saksi-saksi yang
berkualitas “katanya”, yaitu keterangan para saksi yang tidak
bersesuaian satu sama lain. Dan, tanpa barang bukti langsung, misalnya
uang yang konon diterima Susno itu. Sehingga wajar saja jika sekarang
berkas perkara Susno dikembalikan lagi oleh jaksa penuntut umum ke
penyidik.
Terkait hal ini, beberapa saat setelah ditahan, Susno mengirim pesan
singkat ke detikcom. Dikatakannya bahwa keterangan saksi-saksi tersebut
sangat lemah, karena satu sama lain tidak memiliki korelasi yang jelas.
Tak ada satu orang pun yang menyaksikan langsung bahwa Sjahrir Djohan
memberikan sejumlah uang kepada dirinya. Haposan katanya dimintai uang
oleh Sjahrir Djohan, saksi Samsurizal hanya dipameri bungkusan oleh
Sjahrir Djohan, dan Syamsurizal ini tidak pernah sama sekali tahu atau
melihat apa isi bungkusan itu.
Jika demikian halnya, lanjut Susno, andai dirinya mengatakan bahwa uang
tersebut adalah permintaan Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri
(BHD). Selanjutnya Susno mengajukan 10 atau 100 orang saksi, mulai dari
yang membungkus uang, memasukan ke dalam tas, sopir mobil yang mengantar
Susno ke rumah BHD, ajudan Susno yang mendampinginya dan lain-lain
sehingga keterangan saksi tersebut satu sama lain nampak “bersesuaian”.
Dengan demikian, masih menurut Susno, apakah BHD lantas juga dijadikan
tersangka, kemudian ditangkap dan ditahan? Selanjutnya BHD protes, maka
cukup dijawab dengan penyidik sangat yakin terbukti. Kalau tidak puas,
silakan gugat praperadilan atau menunggu putusan pengadilan. Celaka kan?
Ini jelas tuduhan rekayasa. Demikian tulis Susno.
Penulis membayangkan putusan praperadilan akan memenangkan Susno,
terutama karena bukti permulaan sebagai dasar penangkapan dan penahanan
sangat tidak cukup dan berkualitas. Sehingga arah pemberantasan korupsi
menjadi terang dan memancarkan sinar harapan. Akan tetapi, sayang seribu
kali sayang, hakim praperadilan berlogika hukum kuantitatif. Dan Susno
pun dikalahkan. Hakim hanya menimbang cukup dengan satu laporan ditambah
saksi, dan tidak mau menilai lebih jauh kualitas para saksi, lantas
dikatakan proses hukum sudah prosedural (sudah cukup bukti).
Dengan logika hukum demikian, jika penulis mengarang cerita lalu
melaporkan si Anu bin Fulan, kemudian penulis bawa saksi agak tiga
orang, maka si Anu bin Fulan harus ditangkap dan ditahan. Alasannya,
sudah prosedural karena ada laporan ditambah saksi-saksi. Begitukah
hukum yang berkeadilan? Sedangkan setiap tindakan pro justitia selalu
diberi irah-irah ‘untuk keadilan’ di pojok kiri atas surat-suratnya.
Pasca putusan praperadilan yang mengecewakan itu, banyak pihak akhirnya
tinggal berharap pada taji Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
akan mampu melindungi Susno sehingga Susno bisa leluasa mengungkap para
bajingan sampah hukum di institusinya. Namun, sekali lagi, publik
dikecewakan. LPSK dicueki. Mabes Polri berkeras Susno tetap dalam
tahanan polisi karena Susno berstatus tersangka dan bukan saksi sesuai
ruang lingkup perlindungan UU No 13/2006.
Mengapa perihal lemahnya perlindungan peniup peluit mengkhawatirkan dan
menggusarkan kita adalah karena, umumnya, logika masyarakat demikian
adanya. Suka membanding-bandingkan. Ditambah bahwa ‘teriakan’ dari kasus
Susno ini sangat nyaring; sangat luas spektrum pemberitaan oleh
berbagai media massa baik cektak maupun elektronik. Wajar jika bernilai
kampanye buruk luar biasa bagi para (calon) peniup peluit kasus korupsi.
Orang-orang yang mengikuti informasi akan sangat logis jika merasa takut
melaporkan kasus korupsi. Warga kebanyakan yang tidak berpangkat dan
tidak terkenal kalau berani-beraninya melaporkan kasus korupsi orang
yang berkuasa, ya, pasti dikarungi.
Sebaliknya, jika berpikir sedikit ideologis, agak mendasar, mau jadi
martir mungkin, balas dendam, atau apapun motifnya, bolehlah tetap
berani melaporkan kasus korupsi. Dengan harapan, seiring waktu, penegak
hukum berubah dan berani menggunakan diskresinya dengan benar.
Penegak hukum, seperti polisi, memiliki kewenangan diskresi untuk
meneruskan atau menghentikan suatu kasus. Dengan kewenangan diskresi
ini, polisi bisa saja menghentikan atau menunda dulu setiap laporan dan
proses hukum terhadap peniup peliut kasus korupsi. Lantas mendahulukan
kasus yang dilaporkan peniup peluit.
Dengan penggunaan diskresi secara akuntabel berdasarkan asas-asas umum
pemerintahan yang baik (AUPB), kelemahan UU No 13/2006 yang tidak
melindungi saksi yang sekaligus berstatus tersangka, dapat ditepis.
Dalam konteks ini, terlihat bahwa faktor utama mutu penegakan hukum
tetap di tangan manusianya (para penegak hukum). Di tangan penegak hukum
yang beritikad baik, aturan yang buruk pun bisa mendatangkan
kemaslahatan umum.
Jika aparat enggan menggunakan diskresi tersebut, ke depan, orang pasti
akan takut melaporkan kasus korupsi. Itu pasti. Di negeri para mafia,
orang cenderung berpikir praktis-praktis saja. Lihatlah, bukankah sudah
lama KPK tidak menangkap basah pelaku korupsi kelas kakap?(*)
(*) Penulis Advokat/Praktisi Hukum di Padang. Artikel ini telah dimuat di Harian Pagi PADANG EKSPRES, Senin, 7 Juni 2010
KANTOR HUKUM SUTOMO, S.H. & REKAN
ADVOKAT & KONSULTAN HUKUMTindak pidana korupsi, ketenagakerjaan, hukum bisnis, perkawinan, dan tata usaha negara. Advokat PERADI (NIA 07.11029), alumni dengan yudisium Cumlaude dari Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, dengan minat yang luas dan aktif sebagai penulis di media massa. Jl. R…
Ironis, Kebenaran Formil Jadi "Raja" Dalam Perkara Pidana
Aturan Safety Riding Lampu Siang Hari
Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent)
Salah Paham Terhadap Praktik Outsourcing
Pengeritik Kok Disuruh Cari Solusi