By KANTOR HUKUM SUTOMO, S.H. & REKAN
09/29/2010
Oleh SUTOMO
G
E L I saat membaca artikel di halaman satu harian SINGGALANG bertajuk
"Kaum Terdidik Mencaci Bangsa Sendiri" (19/8). Disebutkan seorang
psikolog dari RSJ HB Sa’anin (Kuswardani Susari Putri) dan sosilog dari
Unand (Prof Damsar) menanggapi kecenderungan beberapa kaum terdidik yang
suka mencaci maki bangsa sendiri. Antara lain disebutkan kecenderungan
tidak senang melihat figur berhasil, suka mengkritik, tapi tidak ada
solusi yang diberikan.
Senang atau tidak senang terhadap
keberhasilan seorang figur mencapai suatu posisi penting, seperti di
pemerintahan, memang subjektif sifatnya. Jika tidak senang patutlah
dipertanyakan apa motifnya. Menjadi masalah jika diekspresikan dengan
mencaci maki, apalagi membuat pernyataan yang bernada insinuatif.
Tulisan
ini mencoba memberi catatan kritis bahwa kritik itu wajib sebagai
elemen penting demokrasi. Soal ada solusi atau tidak semata soal tafsir.
Sebab, dibalik setiap kritik hakikatnya sudah tercantum solusi di
dalamnya, tanpa harus diuraikan secara detail bagaimana solusi itu.
Contoh, jika warga mengkritik pemerintah gagal mengendalikan harga-harga
kebutuhan pokok, artinya, solusinya simpel sekali—sudah ada dibalik
pernyataan itu sendiri—yakni, kendalikan harga.
Tidak
mesti disebutkan cara-cara detailnya seperti operasi pasar,
mengendalikan laju inflasi, menstabilkan nilai tukar rupiah dan
seterusnya dengan subrincian yang mendetail pula. Yang harus memikirkan
semua itu adalah pemerintah dan pemimpin yang dipilih oleh rakyat.
Rakyat tinggal membayar pajak dan menikmati hasil kerja pemerintah. Jika
kemudian hasil kerja pemerintah dinilai tidak memuaskan, adalah hak
setiap warga negara untuk menyatakan tidak puas terhadap kinerja
pemerintah.
Bisa dimaklumi akan selalu ada pihak, terutama
pemerintah, yang tidak habis mengerti mengapa ada saja orang yang
kerjanya hanya mengkritik. Namun, sikap ‘antikritik’ begini jelas sebuah
kesesatan logika berpikir.
Pemerintah tugasnya memang
bekerja untuk rakyat—jangan berharap pujian. Peran pihak diluar
pemerintah, salah satunya, mengingatkan (memberi kritikan). Coba, apa
tidak rikuh jika orang yang diluar pemerintah tapi kerjanya hanya
memuji-muji saja setiap hari? Ini kan tugasnya humas? Jangan
dibalik-balik.
Ketika dikritik, malah menantang orang yang
mengkritik untuk bekerja dan memberi solusi. Lah, bekerja melakukan
tugas kepemerintahan itu kan tugasnya pemerintah yang telah dibiayai
rakyat dengan pajak. Tugasnya orang di luar pemerintah menjalankan
fungsinya masing-masing pula dengan baik.
Jika kalangan
oposisi dan aktivis sudah menjalankan tugasnya dengan baik, misalnya,
mengkritik penegakan hukum. Ini suatu aktivitas kerja juga. Karena
mengkritik memang tugas dan fungsi oposisi dan aktivis.
Sama
halnya dosen mengajar dengan baik, psikolog melayani pasiennya dengan
profesional, penulis menggoreskan penanya, pedagang ikan mejajakan
dagangannya—semua merupakan aktifitas kerja. Jangan dikira pemerintah
saja yang bekerja. Bahkan, ada ujaran agak ekstrim, bahwa bagi kalangan
dunia usaha, ada atau tidak ada pemerintah bisnis akan jalan terus.
Jadi,
silahkan saja terus dikritik siapapun, terutama pemerintah. Soal solusi
bagaimana pemerintah harus bekerja begini dan begana, itu tugasnya
pemerintah memikirkannya, karena demikian mereka dibiayai oleh uang
rakyat. Jangan pula rakyat dibebani harus memikirkannya.
Mirip
dengan logika aparat penegak hukum ketika mendapat laporan masyarakat
perihal adanya mafia hukum, seperti sering kita saksikan di media massa:
silahkan buktikan oleh masyarakat maka akan kami tindak. Paradigmanya
seperti dalam hukum perdata, siapa yang menuduh harus membuktikannya.
Lah, mafia hukum merupakan tindak pidana, adalah tugas aparat hukum
untuk membuktikannya, bukan tugas masyarakat pelapor. Masyarakat cukup
melaporkan peristiwanya, aparat yang harus mencari buktinya
(membuktikannya).[]
(*) Penulis Advokat/Praktisi Hukum di Padang.
KANTOR HUKUM SUTOMO, S.H. & REKAN
ADVOKAT & KONSULTAN HUKUMTindak pidana korupsi, ketenagakerjaan, hukum bisnis, perkawinan, dan tata usaha negara. Advokat PERADI (NIA 07.11029), alumni dengan yudisium Cumlaude dari Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, dengan minat yang luas dan aktif sebagai penulis di media massa. Jl. R…
Ironis, Kebenaran Formil Jadi "Raja" Dalam Perkara Pidana
Aturan Safety Riding Lampu Siang Hari
Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent)
Salah Paham Terhadap Praktik Outsourcing