By KANTOR HUKUM SUTOMO, S.H. & REKAN
11/14/2010 Seri konsultasi hukum
Penganiayaan Tahanan
TANYA:
Bagaimana ketentuan hukum pemeriksaan
tersangka. Mengapa ada penyidikan dalam perkara pidana menggunakan kekerasan
fisik untuk memperoleh keterangan atau pengakuan dari tersangka? Ini saya
tanyakan karena sejak hari kedua anak saya ditahan hingga dua minggu kemudian
tidak boleh dikunjungi oleh kami keluarganya. Ini aneh dan mencurigakan bagi
kami. Benar saja, kata anak saya ia dipukuli di tahanan. Namun tidak ada bukti
yang menguatkan karena bekas pukulan sudah tidak tampak setelah dua minggu setelahnya.
Bolehkah kami menuntut secara hukum? Mohon jawaban. Terima kasih.
Ibu IM, Padang.
JAWAB:
Persoalan seperti ini merupakan hal klasik dalam
proses perkara pidana di Indonesia. Dulu, waktu Indonesia masih menggunakan
hukum acara pidana peninggalan penjajah Belanda (IR/HIR), para
tersangka/terdakwa diperlakukan sebagai objek pemeriksaan (inqisatoir). Sehingga keterangan tersangka dipandang sebagai alat
bukti yang paling dicari penyidik, jika perlu dengan cara menyiksa tahanan.
Tahun 1981 lahirlah UU No 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP). Yang waktu itu disebut-sebut sebagai karya agung
bangsa (master peace). Dikatakan demikian karena anak bangsa telah berhasil menyusun
KUHAP buatan sendiri yang relatif jauh lebih baik dari IR/HIR peninggalan
Belanda tersebut. Melalui KUHAP inilah secara formal sistem pemeriksaan
tersangka/terdakwa diubah total, yaitu dari inqisatoir
menjadi aquisatoir. Sistem terakhir ini menempatkan
tersangka/terdakwa sebagai subjek dalam proses perkara pidana, hakikatnya sama
dengan polisi, jaksa, hakim dan advokat/penasehat hukum.
Filosofi KUHAP, yang menempatkan semua pihak yang
terlibat dalam proses perkara pidana sebagai subjek, adalah demi mencari
kebenaran materil. Yaitu kebenaran yang sebenar-benarnya atau sesungguhnya. Inilah
beda proses perkara pidana dengan perkara perdata. Dimana dalam perkara perdata
cukup dengan kebenaran formil, yaitu sejauh bukti formil yang dapat diajukan
para pihak.
Dalam perkara pidana, mustahil kebenaran materil
akan tercapai jika para pihak tidak diposisikan sama-sama sebagai subjek, yang
berarti sama mencari kebenaran dalam perkara yang sedang berjalan.
Sekalipun satu truk alat bukti plus tertangkap
tangan pula, tetapi tersangka/terdakwa belum dapat dipastikan seratus persen
bersalah. Harus ada putusan hakim melalui serangkaian pemeriksaan persidangan
yang teliti sampai terdakwa dapat diputus bersalah atau tidak. Karena itu
jangan heran apabila sering ditemui terdakwa mencabut berita acara pemeriksaan (BAP) di muka hakim. Adalah valid
bahwa kebenaran yang bisa dipegang adalah sejauh yang dapat dibuktikan di
persidangan. Bukan kebenaran versi BAP penyidik yang hakikatnya hanya relevan
untuk menyusun dakwaan belaka.
Namun idealitas yang diusung KUHAP ini ternyata
dalam praktik sering kali jauh panggang daripada api. Tersangka/terdakwa masih
saja acap dianiaya ketika berada dalam tahanan. Dengan kata lain, sudah
seperempat abad KUHAP berlaku tapi kebiasaan lama yang buruk itu masih juga
melekat dan sulit lepas dari alam bawah sadari penyidik. Gatal saja tangan
melihat tampang tersangka/terdakwa. Adanya penasehat hukum yang mendampingi
tersangka/terdakwa sedikit banyak dapat mengurangi ‘kegatalan’ itu.
Padahal, menurut KUHAP, keterangan terdakwa adalah
alat bukti yang paling rendah kedudukannya. Pasal 184 KUHAP menetapkan
alat-alat bukti berturut-turut, keterangan saksi, keterangan ahli, surat,
petunjuk, dan (terakhir) keterangan terdakwa. Sangat logis keterangan terdakwa
dijadikan alat bukti yang paling bawah kedudukannya (namanya juga keterangan
orang yang sedang tersangkut perkara pidana).
Menganiaya tahanan untuk mengorek keterangan bukan
perkara main-main. Sepanjang bisa dibuktikan, penganiayaan merupakan tindak
pidana. Tidak ada yang kebal hukum, termasuk penegak hukum sendiri. Penganiayaan
ringan saja dapat dipidana tiga bulan (Pasal 352 KUHP). Apalagi penganiayaan
berat sampai menimbulkan luka berat atau kematian, bisa dipidana hingga belasan
tahun (Pasal 351, 353-356 KUHP). Disamping itu bisa pula dituntut secara
perdata dengan tuduhan perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) atau perbuatan melawan hukum oeh penguasa (onrechtmatige overhiedsdaad) vide Pasal
1365 KUH Perdata (B.W.). Juga secara disiplin dan etika bisa pula diadukan pada
atasan (yang berhak menghukum) serta komisi terkait.
Demikianlah, memang banyak ditemui kelemahan elementer
dalam KUHAP. Terutama sangat minimnya batasan-batasan yang detail dan tegas
(eksplisit) tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam rangkaian
proses perkara pidana. Sebenarnya kelemahan tersebut sudah ditemui dalam
praktik beberapa tahun setelah KUHAP diberlakukan. Bisa dimengerti bila kemudian
ada usaha-usaha untuk merevisi KUHAP tersebut. Sekarang, Rancangan
Undang-Undang sebagai pengganti KUHAP (RUU KUHAP) sudah digodok di DPR RI dan mudah-mudahan
tidak terlalu lama menunggu pengesahan.
Persoalan yang Ibu alami adalah
pelajaran bagi kita semua.
Bahwa setiap
orang yang memiliki kekuasaan, apalagi terhadap kebebasan bergerak dan
kemerdekaan orang lain, harus dikontrol. Dan pengontrol terbaik adalah setiap
warga negara yang mau tahu, kritis, dan sadar akan hak-haknya.
by: Sutomo, S.H.
KANTOR HUKUM SUTOMO, S.H. & REKAN
ADVOKAT & KONSULTAN HUKUMTindak pidana korupsi, ketenagakerjaan, hukum bisnis, perkawinan, dan tata usaha negara. Advokat PERADI (NIA 07.11029), alumni dengan yudisium Cumlaude dari Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, dengan minat yang luas dan aktif sebagai penulis di media massa. Jl. R…
Ironis, Kebenaran Formil Jadi "Raja" Dalam Perkara Pidana
Aturan Safety Riding Lampu Siang Hari
Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent)
Salah Paham Terhadap Praktik Outsourcing
Pengeritik Kok Disuruh Cari Solusi