By KANTOR HUKUM SUTOMO, S.H. & REKAN
11/14/2010 Seri konsultasi hukum
Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent)
TANYA:
YTH Pengasuh
Konsultasi Hukum. Saya langsung disodori formulir persetujuan tindakan medik
oleh resepsionis pada saat baru saja sampai dan mendaftarkan adik yang sakit di
salah satu rumah sakit swasta di Kota Padang. Yang saya herankan, penyakit adik
saya saja belum diketahui karena belum diperiksa, tetapi saya sudah disodori
formulir persetujuan itu. Akhirnya saya teken juga itu formulir. Beberapa saat
berselang baru saya sadar, bagaimana kalau kemudian terjadi malpraktik medis,
masih dapatkah saya menuntut setelah formulir persetujuan tersebut saya
tandatangani?
Sebab ternyata kemudian terbukti diagnosa dokter
salah. Menurut dokter, adik saya sakit maag. Tapi kemudia terbukti tumor. Nampaknya
wajar terjadi kesalahan, dokter hanya tanya-tanya selintas dan pegang-pegang
sedikit tapi sudah berani menyimpulkan penyakitnya. Ini membuat perawatan dan
obat yang dikonsumsi adik saya tidak tepat sampai kesalahan tersebut diketahui.
Mohon penjelasannya secara hukum. Terima kasih.
ID-Padang.
JAWAB:
Formulir yang anda tandatangani itu disebut Persetujuan
Tindakan Medik. Dalam dunia medik atau hukum kedokteran (medical law) dikenal dengan istilah informed consent. Artinya, persetujuan (consent) pasien setelah ia mendapat penjelasan atau informasi (informed) perihal penyakitnya dari
dokter. Jadi bukan informed consent namanya
jika ada persetujuan tanpa informasi terlebih dahulu. Karenanya, istilah informed consent sebenarnya lebih
mengena daripada ‘persetujuan tindakan medik’.
Perihal informed
consent ini secara khusus diatur dalam Permenkes No 585/MEN.KES/PER/IX/1989
tentang Persetujuan Tindakan Medik. Secara umum, tunduk pada UU No 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan, UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
(khususnya Pasal 45), dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek (B.W.) khususnya Buku
Tiga tentang Perikatan.
Mengapa perlu informed
consent sebelum tindakan medik dilakukan? Adalah karena, secara hukum,
pasien memiliki hak mutlak terhadap tubuhnya. Sehingga setiap tindakan medik
harus disetujui secara langsung oleh pasien (atau boleh juga disetujui oleh
keluarganya bila keadaan pasien tidak memungkinkan). Persetujuan pasien bisa
dilakukan belakangan apabila keadaan mendesak, misalnya pada kasus kecelakaan.
Setiap tindakan medik tanpa persetujuan pasien dapat dikategorikan tindak
pidana (penganiayaan).
Seperti tergambar dalam ruang lingkup pengertian informed consent di atas, persetujuan
dilakukan pasien setelah ia mendapatkan informasi yang selengkap-lengkapnya yaitu
informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medik dan resiko yang dapat
ditimbulkannya. Informasi tersebut sekurang-kurangnya meliputi, diagnosis dan
tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis yang dilakukan, alternatif
tindakan lain dan resikonya, resiko dan komplekasi yang mungkin terjadi, dan
prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
Informasi diberikan langsung kepada pasien (atau
boleh juga kepada keluarganya akan tetapi setelah terlebih dahulu disetujui
pasien). Penyampaian informasi tersebut tentu saja sebaiknya dengan “bahasa awam” agar pasien mudah paham dan dapat mengambil keputusan yang tepat terhadap
tubuhya, tidak dengan bahasa teknis kedokteran yang sulit dipahami orang awam.
Informed
consent bisa dilakukan
secara lisan atau tertulis oleh pasien atau keluarganya. Khusus terhadap
tindakan medis beresiko tinggi, wajib dilakukan secara tertulis. Dengan
persetujuan tersebut, maka secara hukum sudah sah hubungan hukum berupa
perikatan (verbintenis) antara pasien
dengan dokter/rumah sakit. Perikatan ini menimbulkan hak dan kewajiban secara
timbal balik antara dokter-pasien. Kewajiban dokter adalah berikhtiar
maksimal menyembuhkan pasiennya dan
tidak boleh menjanjikan hasil kesembuhan (resultaat
verbintenis). Karena itu, perikatan pasien-dokter dikenal pula dengan
istilah perikatan ikhtiar (inspanning
verbintenis).
Perikatan ini secara langsung berkonsekuensi hukum
keperdataan. Karena itu pasien berhak menggugat secara perdata dengan tuduhan
perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 B.W) terhadap tindakan malpraktik medis; namun
dokter juga tetap dapat dipidana apabila terpenuhi unsur tindak pidananya; selain
dapat pula diadukan ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokeran Indonesia (MKDKI)
di Jakarta dan/atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) setempat.(*)
Sutomo, S.H.
KANTOR HUKUM SUTOMO, S.H. & REKAN
ADVOKAT & KONSULTAN HUKUMTindak pidana korupsi, ketenagakerjaan, hukum bisnis, perkawinan, dan tata usaha negara. Advokat PERADI (NIA 07.11029), alumni dengan yudisium Cumlaude dari Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, dengan minat yang luas dan aktif sebagai penulis di media massa. Jl. R…
Ironis, Kebenaran Formil Jadi "Raja" Dalam Perkara Pidana
Aturan Safety Riding Lampu Siang Hari
Salah Paham Terhadap Praktik Outsourcing
Pengeritik Kok Disuruh Cari Solusi