By KANTOR HUKUM SUTOMO, S.H. & REKAN
01/27/2012 Oleh Sutomo (*)
Ini kisah nyata. Seorang hakim ketua terlihat tenang tanpa beban
sedikit pun, hanya bisik-bisik sebentar dengan kedua hakim anggota di
kiri dan kanannya, lalu berkata: “Ya, sudah, kami vonis saudara lima
tahun, sama dengan tuntutan jaksa.” Tok! Palu hakim diketok.
Ketokan palu hakim tersebut hanya berjarak paling banter dua menit
sesudah Jaksa Penuntut Umum membacakan surat tuntutannya. Artinya,
majelis hakim tidak melakukan musyawarah dan mencantumkan pertimbangan
putusan dalam buku putusan, kalaupun dibuat sudah pasti dibuat
belakangan saja. Artinya pula, terdakwa tidak diberi waktu yang wajar
untuk membela diri (terdakwa tanpa penasehat hukum), hanya diberi
pertanyaan bernada formalitas (apakah terdakwa ada pembelaan?).
Bayangkan, seseorang dirampas kemerdekaannya selama lima tahun, tanpa
pertimbangan apapun mengapa terdakwa dihukum sampai lima tahun.
Saya sepontan tercengang. Waaaaaah, merampas kemerdekaan orang selama lima tahun, begitu saja.
Surat tuntutan perkara tersebut pun hanya dibacakan secepat kilat.
Hanya amar tuntutan saja dibacakan. Tak sampai tiga menit selesai
dibacakan. Selebihnya dianggap terbacakan. Serba cepat dan terburu-buru.
Kejadian serupa itu sekarang acap terjadi sejak di Pengadilan Negeri
berdiri kamar baru bernama Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan
Tipikor).
Sejak berdiri Pengadilan Tipikor tersebut, Pengadilan Negeri
bersangkutan diserbu perkara korupsi dari seluruh kabupaten dan kota
seantero propinsi. Ditambah perkara pidana umum dan perdata (plus
tambahan dari kabupaten sebelah yang belum ada pengadilannya), bisa
dibayangkan berapa banyaknya perkara yang harus disidangkan tiap hari di
pengadilan tersebut.
Jadilah suasana pengadilan mirip pasar. Riuh rendah. Orang-orang lalu
lalang penuh sesak di lobi, kiri kanan gedung, di samping ruang sidang,
dan di halaman parkir, bahkan di muka WC. Asap rokok mengepul di
mana-mana. Suara lolongan anak kecil menjerit-jerit dan berlari-lari
(padahal sudah ada pengumuman dilarang bawa anak kecil ke pengadilan).
Jadi jangan heran jika persidangan jadi serba terburu-buru. Nyaris
semua dokumen perkara pidana atau perdata dianggap terbacakan. Memang,
bisa saja tetap ngotot untuk dibacakan seluruhnya, tapi antusiasme
nyaris tidak ada. Seperti tak sabar cepat selesai. Maklum, perkara lain
sudah menunggu disidangkan pula.
Pertanyaan pada saksi-saksi dan terdakwa sangat bernada formalitas
belaka. “Benar saudara pernah diperiksa di kepolisian? Apakah keterangan
saudara dalam BAP benar?”. Begitu saja. Pertanyaan lain hanya
formalitas belaka. Tidak ada kelihatan upaya keras untuk menggali
kebenaran materil, kebenaran yang sesunguh-sungguhnya sebagaimana
terungkap di muka persidangan, yang digali dari keterangan saksi-saksi
langsung di muka persidangan, keterangan terdakwa, kroscek dengan alat
bukti surat, dan seterusnya.
Untuk perkara pidana keadaan di atas sangat memprihatinkan. Karena
perkara harusnya menggali kebenaran materil. Tapi yang terjadi, sejak
tumpukan perkara pasca berdirinya Pengadilan Tipikor, kebenaran formil
yang lebih mengemuka diungkap dalam persidangan perkara pidana. Yakni,
kebenaran sejauh yang tertulis dalam BAP tingkat penyidikan dan surat
dakwaan saja.
Suasana kebatinan yang terasa di lingkungan pengadilan adalah, ya,
sudah semua terdakwa perkara korupsi pokoknya harus dihukum. Bersalah
tak bersalah pokoknya terdakwa harus dihukum. Terbukti tak terbukti
dakwaan pokoknya terdakwa harus dihukum. Pidana atau perdata fakta hukum
yang terungkap di persidangan, sama saja, terdakwa harus tetap dihukum.
Kalaupun terdakwa harus bebas, biarlah itu urusan hakim di Pengadilan
Tinggi. Lihatlah. Jelas sekali cari aman. Semua demi karir dan
popularitas. Bukan demi hukum dan keadilan. “Lembaga pengadilan” dalam
kenyataannya berpotensi terdegradasi menjadi “lembaga penghukuman”.(*)
(*) Penulis advokat/praktisi hukum, tinggal di Padang.
KANTOR HUKUM SUTOMO, S.H. & REKAN
ADVOKAT & KONSULTAN HUKUMTindak pidana korupsi, ketenagakerjaan, hukum bisnis, perkawinan, dan tata usaha negara. Advokat PERADI (NIA 07.11029), alumni dengan yudisium Cumlaude dari Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, dengan minat yang luas dan aktif sebagai penulis di media massa. Jl. R…
Aturan Safety Riding Lampu Siang Hari
Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent)
Salah Paham Terhadap Praktik Outsourcing
Pengeritik Kok Disuruh Cari Solusi