By KANTOR HUKUM SUTOMO, S.H. & REKAN
11/15/2010
Seri konsultasi hukum
Perjanjian Baku Leasing
TANYA:
Bapak pengasuh konsultasi hukum yth, setahun yang lalu saya membeli
kendaraan bermotor dengan memanfaatkan jasa pembiayaan (leasing). Sebulan yang
lalu, kendaraan bermotor tersebut
ditarik secara sepihak oleh perusahaan leasing dengan alasan saya terlambat
mengangsur kredit selama tiga bulan, yang mana hal ini saya akui. Namun, waktu
penarikan kendaraan itu ketika saya sedang bersama teman-teman di rumah, ini
membuat saya malu sekali. Pegawai leasing mengatakan, bahwa tindakan mereka
menarik kendaraan sudah sesuai dengan kuasa dan perjanjian pembiayaan kendaraan
yang saya tandatangani, apalagi saya sudah diberi toleransi. Padahal saya
sendiri belum pernah melihat wujud fisik tertulis perjanjian tersebut.
Pertanyaan saya, bagaimanakah kekuatan hukum perjanjian demikian, dan apakah tindakan
pegawai leasing itu sah secara hukum? Terima kasih atas jawabannya.
Bapak Oyong, Padang
JAWAB:
Perjanjian pembiayaan kendaraan
bermotor secara kredit sama halnya dengan perjanjian kredit bank, asuransi, atau
tiket pesawat/kendaraan; juga sama halnya ketika penumpang naik angkutan kota (angkot), dalam hal
ini pada dasarnya telah terjadi kesepakatan antara penumpang dan supir (sekalipun
tidak tertulis) mengenai besaran ongkos dan syarat-syarat lainnya. Semua jenis
kesepakatan tersebut dikenal dengan kesepakatan/perjanjian/kontrak baku (standardized contract).
Ciri khas
perjanjian standar format dan isinya telah dibakukan oleh salah satu pihak (biasanya
pelaku usaha) baik dalam bentuk formulir isian ataupun tidak tertulis. Namun
demikian, konsumen masih diberi hak untuk menyetujui/meneken perjanjian (take it) atau menolak perjanjian yang
diajukan padanya (leave it). Itulah
sebabnya, perjanjian standar ini disebut pula take it or leave it contract. Perjanjian jenis ini lahir dalam
praktik bisnis yang bersifat massal demi pertimbangan kepraktisan; bisa
dibayangkan kesulitan yang timbul apabila setiap perjanjian leasing atau kredit
bank harus dibuat per individual.
Dalam praktik,
tidak jarang formulir isian (perjanjian) tersebut disodorkan begitu saja tanpa
penjelasan kepada konsumen untuk ditandatangani, atau kalaupun dijelaskan tapi
tidak lengkap atau kurang jelas (tidak begitu dipahami konsumen). Dan sebagai
pihak yang sangat membutuhkan, konsumen seakan tidak ada pilihan lain kecuali
menyetujui perjanjian standar yang disodorkan.
Tidak heran
umumnya ahli hukum perdata sependapat bahwa perjanjian standar merupakan wujud
kesepakatan yang timpang. Dimana konsumen berada dipihak yang lemah, sementara pelaku
usaha berada di atas angin (kuat) jadi bebas menentukan klausula apa saja demi
keuntungan maksimal pihaknya. Bahkan, tidak jarang, pelaku usaha menetapkan apa
yang disebut klausula eksonerasi (exoneration
clause) dalam perjanjian, yaitu klausula yang menyatakan pembatasan atau
bahkan pembebasan pelaku usaha dari tanggung jawab yang timbul dari pelaksanaan
perjanjian.
Dalam konteks
leasing, konsumen hanya berkedudukan sebagai penyewa, bukan pemilik kendaraan
bermotor yang menjadi objek perjanjian leasing. Oleh karenanya, perjanjian
leasing kendaraan bermotor dikenal pula sebagai perjanjian sewa guna kendaraan
(vehicle leasing agreement).
Apabila ada
klausula perjanjian leasing dilanggar oleh konsumen, pelaku usaha (perusahaan
leasing) dapat menguasakan kepada pegawainya untuk menarik kendaraan. Jika
sebelum penarikan kendaraan konsumen diberitahu maka tentu konsumen besar
kemungkinan akan mempersulitnya. Memang lemah kedudukan konsumen dalam hal ini.
Misalnya, sekalipun konsumen telah mengangsur kredit secara tepat waktu selama
2/3 masa kredit, tapi kendaraan dapat ditarik apabila menunggak sekian bulan
saja.
Terkait
perjanjian standar, termasuk perjanjian leasing ini, berbagai perundangan
sebenarnya telah memberi perlindungan kepada konsumen dan pelaku usaha secara seimbang.
Di negara kita, terdapat UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Menurut
ketentuan UU ini, perjanjian standar memang dibolehkan namun harus diletakkan
pada tempat yang mudah terlihat dan dapat jelas dibaca dan mudah dimengerti,
apabila ketentuan ini tidak dipenuhi maka perjanjian menjadi batal demi hukum
(Pasal 18).
Selain itu,
Pasal 18 UU 8/1999 melarang klausula eksonerasi; juga klausula yang menyatakan
pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun
tidak langsung untuk melakukan tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang
yang dibeli oleh konsumen secara angsuran (kredit); atau klausula yang
menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang
dibeli konsumen.
Akan lebih baik
apabila konsumen segera meminta salinan (copy) perjanjian tidak begitu lama
setelah perjanjian ditandatangani. Hal ini sangat penting agar konsumen dapat
mempelajari secara seksama perjanjian dimaksud guna mengetahui hak-hak dan
kewajibannya, dihubungkan dengan perundangan yang ada. Dengan demikian,
konsumen dapat jelas dan gamblang dalam memperjuangkan hak-haknya sewaktu-waktu
apabila diperlukan. Demikian jawaban kami. Terima kasih atas pertanyaannya.
[SUTOMO SH]
KANTOR HUKUM SUTOMO, S.H. & REKAN
ADVOKAT & KONSULTAN HUKUMTindak pidana korupsi, ketenagakerjaan, hukum bisnis, perkawinan, dan tata usaha negara. Advokat PERADI (NIA 07.11029), alumni dengan yudisium Cumlaude dari Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, dengan minat yang luas dan aktif sebagai penulis di media massa. Jl. R…
Ironis, Kebenaran Formil Jadi "Raja" Dalam Perkara Pidana
Aturan Safety Riding Lampu Siang Hari
Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent)
Salah Paham Terhadap Praktik Outsourcing
Pengeritik Kok Disuruh Cari Solusi