By KANTOR HUKUM SUTOMO, S.H. & REKAN
09/29/2010 Oleh SUTOMO
Mengapa
jika jaksa yang diperiksa polisi harus izin Jaksa Agung, contohnya
jaksa kasus Gayus Halomoan Tambunan. Sedangkan advokat bisa langsung
ditangkap dan ditahan tanpa izin Ketua Peradi, contohnya advokat Manatap
Ambarita. Padahal, advokat dan jaksa keduanya sama-sama berstatus
sebagai penegak hukum.
Tulisan ini bermaksud menyoal
perbedaan perlakuan tersebut di atas dalam pespektif hukum. Sekaligus
mendorong penegakan hukum dan kode etik terhadap malapraktik profesi
hukum.
Paradoks advokat
Advokat
atau pengacara diberi status oleh undang-undang sebagai penegak hukum,
sama dan sederajat dengan polisi, jaksa dan hakim. Pasal 5 ayat (1) UU
No. 18/2003 tentang Advokat menyatakan, advokat berstatus sebagai
penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan
perundang-undangan.
Sejalan dengan itu, putusan Mahkamah
Konstitusi dalam perkara No.014/PUU-IV/2006 menyatakan bahwa Perhimpunan
Advokat Indonesia (Peradi), wadah tunggal advokat Indonesia, merupakan
organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri yang juga
melaksanakan fungsi negara.
Persoalan praktisnya adalah,
penegak hukum seperti apa? Karena di satu sisi advokat berstatus penegak
hukum. Namun, pada sisi lain, advokat tidak punya kewenangan memaksa
selayaknya penegak hukum, seperti polisi dan jaksa, yang bisa menangkap,
menahan, menggeledah dan seterusnya. Karena itu, status penegak hukum
yang disandang advokat mau tak mau hanya bisa dimaknai sesuai fungsinya
sebagai kuasa hukum atau penasehat hukum klien dalam kerangka sistem
negara hukum.
Berbeda halnya dengan advokat. Jaksa punya
kewenangan merampas kemerdekaan orang, juga sekaligus dilindungi
undang-undang dalam melaksanakan tugasnya, baik di dalam maupun di luar
pengadilan. Sebelum memeriksa jaksa Poltak Manulang, Cirus Sinaga, Fadil
Regan, Eka Kurnia, dan Ika Safitri, kepolisian harus mendapat izin
Jaksa Agung terlebih dahulu. Hal ini didasarkan pada Pasal 8 ayat (5) UU
No. 16/2004 tentang Kejaksaan.
Sedangkan advokat bisa
langsung ditangkap dan ditahan kapan pun tanpa harus izin Ketua Peradi.
Pasal 16 UU Advokat hanya memberi hak imunitas profesi dalam sidang
pengadilan (!). Setidaknya demikian tafsir jaksa, polisi dan hakim dalam
kasus advokat Manatap Ambarita tahun 2008 yang lalu di PN Padang.
Dikatakan
menurut tafsir polisi dan jaksa karena Pasal 16 UU Advokat tersebut
memang multitafsir. Pasal 16 UU Advokat selengkapnya menyatakan,
“Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam
menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan
pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.” Adanya frasa ‘dalam sidang
pengadilan’ membuat pasal ini menjadi multitafsir, terutama jika dihubungkan dengan pasal lain dalam undang-undang yang sama.
Malapraktik profesi
Menurut
penulis, frasa kunci pasal di atas adalah ‘menjalankan tugas profesi’
dan bukan ‘dalam sidang pengadilan’. Tidak hanya advokat. Siapa pun yang
sedang menjalankan tugas profesi dengan itikad baik, apakah jaksa,
polisi, hakim, notaris, dokter, wartawan, dan lain-lain, tidak dapat
dituntut secara hukum. Terlebih lagi dituntut secara hukum pidana.
Bagaimana rasionalnya?
Hal ini ada kaitannya dengan subjek tindak pidana. Secara umum, subjek tindak pidana adalah orang perseorangan (natuurlijke persoon) dan korporasi (korporatie). Artinya, hanya perbuatan (handeling) orang perseorangan dan korporasi yang dapat dinilai dalam hukum pidana.
Dengan
demikian, idiom “setiap orang” atau “barangsiapa” dalam perumusan
pasal-pasal pidana, berarti “siapa saja” orang perseorangan (natuurlijke persoon) dan korporasi (korporatie). Artinya, sasaran dari norma undang-undang (addressaat norm) tentang tindak pidana adalah “perbuatan” (handeling) orang perseorangan dan “perbuatan” (handeling) untuk dan atas nama korporasi. Bukan “perbuatan” (handeling) dalam kapasitas jabatan atau “perbuatan” (handeling) dalam kapasitas profesi.
Jika
konteksnya melaksanakan tugas jabatan (misalnya gubernur, bupati dan
lain-lain) maka tanggung gugatnya tunduk pada kaidah hukum administrasi
negara. Bukan pidana. Karena jabatan tidak bisa dipenjara. Sementara,
jika konteksnya menjalankan tugas profesi, maka tanggung gugatnya tunduk
pada kaidah kode etik profesi.
Dalam praktik sering
terbalik. Menerima suap dibilang bukan korupsi karena tidak merugikan
negara. Seperti pembelaan hakim Muhtadi Asnun, yang merasa tidak korupsi
karena uang suap digunakan untuk umroh. Di sini, menerima suap (pidana)
jelas bukan tugas dari suatu jabatan. Jadi, rumusnya, setiap
pelanggaran hukum pasti melanggar kode etik, sebaliknya tidak setiap
pelanggaran kode etik berimplikasi hukum
Maka, ada
benarnya mana kala Mahkamah Agung belum langsung memberi sanksi kode
etik kepada hakim Asnun, melainkan menunggu putusan pidana terhadapnya
berkekuatan hukum tetap.
Sampai di sini persoalannya
adalah, siapa yang berhak menilai bahwa seseorang harus bertanggung
jawab secara hukum atau harus bertanggung jawab secara kode etik? Apakah
yang bersangkutan atau polisi atau jaksa? Ini wilayah tafsir. Karena
itu, apabila tidak ada nash yang jelas dan tegas dalam undang-undang,
pemutus akhirnya harus diserahkan pada hakim di pengadilan.
Dalam
kaitan ini, jika hak imunitas profesi dirumuskan dengan jelas dan
terang dalam undang-undang, tidak perlu lagi ada wartawan masuk penjara
karena tulisannya, advokat dibui karena pilihan trik advokasinya, dokter
dipenjarakan karena teknis pilihan tindakan medisnya, dan seterusnya.
Jadi, tidak dikit-dikit dibawa ke proses hukum, lantas berkata biar
hakim yang memutuskan.
Kebebasan profesi harus dilindungi
undang-undang. Pada saat yang sama penegakan hukum dan kode etik juga
perlu ditegakan terhadap setiap malapraktik profes hukum. Sebab, kalau
tidak, tertib bernegara bisa terganggu. Coba saja kalau polisi mogok
bertugas agak seminggu. Bisa-bisa terjadi huru-hara nasional.
Kalau
advokat mogok mungkin yang paling hepi adalah oknum polisi dan jaksa
yang berparadigma advokat sebagai musuh. Terlihat antara lain bermuka
masam saat berurusan dengan advokat atau pura-pura ramah tapi
kasak-kusuk di belakang. Bukan begitu sanak?(*)
(*)
Penulis Advokat/Praktisi Hukum di Padang. Artikel ini telah dimuat di
Harian Pagi Padang Ekspres (JPNN), Selasa, 15 Juni 2010.
KANTOR HUKUM SUTOMO, S.H. & REKAN
ADVOKAT & KONSULTAN HUKUMTindak pidana korupsi, ketenagakerjaan, hukum bisnis, perkawinan, dan tata usaha negara. Advokat PERADI (NIA 07.11029), alumni dengan yudisium Cumlaude dari Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, dengan minat yang luas dan aktif sebagai penulis di media massa. Jl. R…
Ironis, Kebenaran Formil Jadi "Raja" Dalam Perkara Pidana
Aturan Safety Riding Lampu Siang Hari
Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent)
Salah Paham Terhadap Praktik Outsourcing
Pengeritik Kok Disuruh Cari Solusi