By KANTOR HUKUM SUTOMO, S.H. & REKAN
09/29/2010
Oleh SUTOMO
Pemberian
remisi (pengurangan masa pidana) bisa saja dihapuskan. Syaratnya,
tujuan pemidanaan dan konsep pemasyarakatan diubah dulu, dari pembinaan
diubah menjadi balas dendam. Dalam konsep terakhir ini, tidak boleh ada
remisi sekalipun terpidana berkelakuan baik selama dipenjara.
Mungkinkah?
Sampai hari ini, pemasyarakatan bagi terpidana
di Indonesia masih menggunakan konsep pembinaan. Dalam konsep ini,
terpidana dibina supaya berubah menjadi lebih baik sebelum dibebaskan
dan kembali ke tengah masyarakat. Karenanya, siapa pun terpidana yang
telah menjalani masa pidana tertentu serta berhasil dibina sehingga
berkelakuan baik, otomatis mendapat hadiah remisi.
Maka,
setiap momen hari ulang tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, para
narapidana bersuka cita. Pada ultah Kemerdekaan RI ke-65 yang lalu,
misalnya, beberapa terpidana kasus korupsi mendapat berkah, sebut saja
besan SBY Aulia Pohan, Maman Soemantri, Bunbunan Hutapea, dan Aslim
Tadjudin. Keempatnya adalah mantan Diputi Gubernur Bank Indonesia. Aulia
Pohan bahkan bisa langsung bebas bersyarat karena yang bersangkutan
sudah menjalani dua pertiga dari masa pidananya.
Praktek
remisi demikian telah berjalan berpuluh-puluh tahun lamanya. Akan
tetapi, tahun ini, tiba-tiba menuai pro dan kontra, terutama dikalangan
aktivis dan KPK.
Diluar dugaan KPK ikut bersuara. Mengapa
dikatakan diluar dugaan adalah karena KPK harusnya tidak dalam posisi
menafsirkan peraturan perundang-undangan, melainkan melaksanakannya. Tak
kurang Wakil Ketua KPK M Jasin mengecam pemberian remisi dan grasi
kepada terpidana kasus korupsi.
Namun pemerintah tidak ada
pilihan lain. Hal ini karena kata kunci dari remisi adalah hak, yaitu
hak terpidana yang telah memenuhi syarat. Jika hak ini tidak diberikan,
pemerintah dianggap telah merampas hak orang lain, dan ini bisa digugat
dengan dasar perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad), vide Pasal 1365 KUHPerdata.
Sebaliknya,
dari sudut pandang negara, hak negara untuk menghukum terdakwa otomatis
berakhir ketika terdakwa divonis hakim dan eksekusi telah dijalankan.
Saat terpidana telah dieksekusi, telah dimaksukkan ke penjara, giliran
hak terpidana muncul, dan kebalikannya merupakan kewajiban negara untuk
memberikan hak itu.
Pasal 14 UU No 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan menyatakan bahwa remisi merupakan hak terpidana. Yang
teknis pengaturannya ditentukan lebih lanjut oleh PP No 28 Tahun 2006
tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan.
Sesuai aturan di atas, terpidana berhak mendapatkan remisi jika telah memenuhi syarat (i) berkelakuan baik selama menjalani pidana dan (ii)
telah menjalani minimal 6 (enam) bulan penjara (kejahatan biasa) atau
1/3 (satu per tiga) masa hukuman pidana (kejahatan korupsi, teroris,
pembalakan liar dan narkotika). Hanya dua jenis pidana yang tidak
mungkin diberikan remisi, yakni penjara seumur hidup dan hukuman mati.
Dalam
kaitan ini, andai kata hukum menggunakan asumsi atau prasangka buruk
bahwa kelakuan baik terpidana hanyalah sandiwara belaka, maka tidak akan
pernah ada remisi. Sama halnya, andai kata konsep pemidanaan kita
adalah balas dendam, juga tidak akan pernah ada remisi.
Napi
yang berkelakuan baik, taat aturan, rajin sholat, mengaji, ramah, rajin
bekerja, menempah diri lahir batin jangan harap dapat pengurangan
hukuman. Begitu pun sebaliknya, napi yang berkelakuan buruk, tidak taat
aturan, suka berkelahi sesama napi, jual narkoba jalan terus, pemalas,
tidak rajin bekerja, apalagi beribadah pun jangan harap dapat remisi.
Keduanya sama saja. Tak ada bedanya. Karena pemidanaan adalah balas
dendam.
Untunglah, sistem hukum pidana dan pemasyarakatan
kita sejak dulu kala telah menetapkan bahwa tujuan penghukuman dan
pemasyarakatan adalah pembinaan. Bukan balas dendam. Penghukuman dengan
tujuan balas dendam tinggal sejarah tempo dulu, peninggalan abad
kegelapan, jaman jahiliah.(*)
(*) Penulis Advokat/Praktisi Hukum di Padang. Artikel ini telah dimuat Harian SINGGALANG (hal. 1), Selasa, 24 Agustus 2010.
KANTOR HUKUM SUTOMO, S.H. & REKAN
ADVOKAT & KONSULTAN HUKUMTindak pidana korupsi, ketenagakerjaan, hukum bisnis, perkawinan, dan tata usaha negara. Advokat PERADI (NIA 07.11029), alumni dengan yudisium Cumlaude dari Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, dengan minat yang luas dan aktif sebagai penulis di media massa. Jl. R…
Ironis, Kebenaran Formil Jadi "Raja" Dalam Perkara Pidana
Aturan Safety Riding Lampu Siang Hari
Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent)
Salah Paham Terhadap Praktik Outsourcing
Pengeritik Kok Disuruh Cari Solusi