By KANTOR HUKUM SUTOMO, S.H. & REKAN
09/29/2010
Oleh SUTOMO
Betapa
menyebalkannya kelakuan para mafia hukum itu. Inilah sepenggal kisahya.
Lewat tengah malam waktu Padang, saya ditelepon seorang kenalan di kota
X. Yang mengabarkan adiknya, usia SMP dan putus sekolah, ditangkap
polisi dengan sangkaan mencuri kotak infaq masjid sebesar Rp230 ribu.
Sampai di sini cerita mengalir begitu saja. Tidak ada pemerasan oleh
oknum polisi dan jaksa.
Saya pun menyampaikan mengenai hak-hak tersangka. Antara lain mengajukan
permohonan penangguhan penahanan. Lalu, penangguhan penahanan ini pun
kemudian diajukan serta dikabulkan.
Hari-hari pun berlalu. Suatu petang, menjelang magrib, kawan tadi
kembali menelpon. Mengabarkan perkara adiknya sudah mulai disidangkan di
pengadilan negeri setempat. Tapi, yang tak enak didengar, ia bercerita,
hakim S minta uang Rp10 juta! Kata si hakim supaya adiknya dihukum
ringan (hukuman percobaan).
Karena tidak punya uang sebanyak itu, maklum kawan ini hanya seorang
petani kecil, ia mencoba menawar. Habisnya punya uang cuma Rp3 juta.
“Cukuplah sebagai DP”, kata si hakim S. Sisanya harus diserahkan
langsung dan tunai dalam waktu satu minggu. Dengan klausula tambahan,
apabila terlambat maka si adik akan dihukum berat.
Pontang-panting kawan ini mencari uang, pinjam ke sana kemari. Akhir
cerita, uang sejumlah Rp7 juta pun diperoleh dan diserahkan pada hakim
S.
Sayangnya, setelah kejadian baru kawan ini menelepon. Sehingga saya
sendiri geregetan. Coba saja momen ini sangat pas untuk menjebak si
hakim S. Namun transaksi sudah selesai. Tanpa bukti kwitansi. Tanpa
saksi. Khas praktik mafia hukum. Jangan salah. Ini kisah nyata,
benar-benar pernah terjadi.
Kurang ajar betul oknum hakim S ini. Menjalankan tugas dan kewajiban
dikatakannya sebagai menolong. Inilah praktik sesat banyak oknum aparat
kita. Padahal, menolong jelas tidak sama dengan melaksanakan tugas dan
kewajiban oleh aparat yang telah digaji negara. Kewajiban ya kewajiban.
Tidak ada istilah ‘menolong’. Gara-gara sesat pikir seperti ini, aparat
meminta semacam ‘uang lelah’, jadi suatu hal yang lumrah.
Mau rasanya saya menyarankan untuk melaporkan si sampah hukum tersebut.
Tetapi, bagi orang kecil, kajiannya tidak sesederhana itu. Kalau pun
melapor, tanpa bukti-bukti pendukung, ia bisa terancam dilaporkan balik
dengan sangkaan fitnah dan pencemaran nama baik. Okelah, seandainya pada
kejadian lain, ada cukup bukti, itupun akan menyulitkan orang kecil.
Mereka yang awam, sekali lagi, harus berhadapan dengan proses hukum yang
rumit, dipanggil-panggil, dan dimintai keterangan yang memusingkan.
Seperti sudah sering saya temui dalam kejadian serupa. Saya pun mencoba
mengorek latar belakang mengapa kawan ini begitu ketakutan dan segera
mengiyakan saja permintaan si hakim. Seperti dugaan saya, jawabannya
adalah: masyarakat kecil pencari keadilan menganggap jika berurusan
dengan hukum memang harus membayar!
Kenyataan berurusan dengan hukum harus membayar, menjadi semacam hukum
kebiasaan. Inilah praktik yang umum diketahui sebagian warga. Yang,
diantaranya, miskin secara ekonomi, berpendidikan relatif rendah dan
buta hukum.
Pada taraf ini, ada benarnya juga pendapat sekalian orang. Bahwa korupsi
di Indonesia sudah membudaya. Jadi kebiasaan yang diterima umum.
Melakukannya seperti melakukan perbuatan baik saja.
Karena itu, pendekatan pemberantasan korupsi yang hanya berorientasi
pada penindakan, tanpa menyeimbangkannya dengan pencegahan dan
merekonstruksi otak-otak yang sudah terkorupsi (baca: budaya hukum),
akan nyaris sia-sia. Seperti memadamkan kebakaran hutan gambut. Tentu,
tugas berat ini lebih merupakan gawenya pemerintah, anggota dewan,
penegak hukum, dan kalangan LSM dan NGO. Sedangkan rakyat kecil jelas
tidak bisa dibebani tugas seberat ini.
Rakyat kecil hanya mampu menerima saja. Bahkan, sepahit apapun yang
diputuskan pemerintah. Atau yang diputuskan oleh para oknum mafia hukum
itu. Inilah dunia.(*)
(*) Penulis Advokat/Praktisi Hukum di Padang. Artikel ini telah dimuat di harian Singgalang, Rabu, 28 April 2010.
KANTOR HUKUM SUTOMO, S.H. & REKAN
ADVOKAT & KONSULTAN HUKUMTindak pidana korupsi, ketenagakerjaan, hukum bisnis, perkawinan, dan tata usaha negara. Advokat PERADI (NIA 07.11029), alumni dengan yudisium Cumlaude dari Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, dengan minat yang luas dan aktif sebagai penulis di media massa. Jl. R…
Ironis, Kebenaran Formil Jadi "Raja" Dalam Perkara Pidana
Aturan Safety Riding Lampu Siang Hari
Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent)
Salah Paham Terhadap Praktik Outsourcing
Pengeritik Kok Disuruh Cari Solusi