By KANTOR HUKUM SUTOMO, S.H. & REKAN
10/21/2011 Oleh : Sutomo
Praktisi Hukum
Padang Ekspres • Jumat, 16/09/2011
Seorang sejawat
senior saya, advokat Virza Benzani, tak habis-habisnya heran melihat
realita persidangan di pengadilan kita. Suatu hari ia bercerita soal
pengamatannya atas persidangan kasus korupsi. Bagaimana seorang panitera
pengganti kasus korupsi termangu-mangu bahkan terkantuk-kantuk di
persidangan tanpa terlihat sedikit pun mencatat dialog pertanyaan hakim
dan terdakwa. Dengan kondisi begini entah apa yang akan dituangkan
panitera pengganti itu ke dalam Berita Acara Persidangan, sedangkan
persidangan itu menyangkut nasib orang dan uang negara.
Pada saat bersamaan terlihat pula
hakim menasehati terdakwa yang belum tentu bersalah, dengan
kalimat-kalimat yang menjurus kepada putusan bersalah. Penulis sendiri
pernah melihat langsung kejadian serupa. “Loh, itu ‘kan tidak boleh!”
sergah seorang hakim kepada terdakwa. Padahal, sudah jelas hakim
dilarang keras menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang
tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa (Pasal 158
KUHAP).
Nanti ada gilirannya hakim
berpendapat. Hakim hanya boleh berpendapat dalam putusan. Tugas hakim
hanya memeriksa dan kemudian, pada akhir rangkaian persidangan, memutus
suatu perkara apakah terdakwa bersalah atau tidak atau apakah gugatan
perdata terbukti atau tidak.
Pada suatu hari di masa yang lalu
sempat pula penulis menyatakan dalam sebuah pleidoi bagaimana hakim
harusnya sebagai “wasit” namun ikut jadi “pemain” dalam suatu
persidangan. Lucunya, ini memang dibolehkan dalam hukum kita.
Buktinya, dalam setiap putusan
perkara pidana hampir selalu hakim membahas pembuktian unsur-unsur dalam
pertimbangan putusannya, mirip apa yang dilakukan jaksa penuntut umum
dalam surat tuntutan, sedangkan tugas pembuktian dalam suatu perkara
pidana harusnya atau idealnya dibebankan kepada Jaksa Penuntut Umum yang
mewakili negara dan masyarakat. Dalam keadaan ini hakim tak ubahnya
Jaksa Penuntut Umum (semi-prosecutor).
Soal “wasit” merangkap “pemain”
tersebut sudah menjadi perhatian Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi)
sejak lama. Dimana dalam pengadilan pidana di Indonesia, hakim tidak
memeriksa fakta perkara langsung dari sumbernya (fresh evidence) tetapi
dari BAP yang sudah disiapkan oleh penyidik dalam pemeriksaan fase
pra-adjudikasi. Pemeriksaan hakim dalam sidang pengadilan demikian
menjadi cenderung bersifat konfirmasi terhadap keterangan yang sudah
pernah diberikan dalam BAP. Dalam keadaan seperti itu kedudukan hakim
pun menjadi semi-prosecutor. (Luhut MP Pangaribuan et.all, Menuju Sistem
Peradilan Pidana yang Akusatorial dan Adversarial Butir-Butir Pikiran
Peradi untuk Draf RUU-KUHAP, Papas Sinar Sinanti, Jakarta, 2010, h. 28)
Hakim idealnya menjaga jarak yang
sama terhadap para pihak yang membawa perkaranya ke pengadilan.
Benar-benar menjadi pengadil atau wasit yang hanya memimpin persidangan,
memeriksa perkara, dan memutuskan siapa yang benar dan siapa yang
salah, apakah dakwaan jaksa yang benar atau pembelaan terdakwa yang
benar, dengan pertimbangan putusan yang jernih dan rasional. Sehingga
tidak perlu terjadi hakim mengesampingkan alat bukti yang signifikan
demi dapat menghukum terdakwa yang seharusnya dibebaskan.
Keanehan yang memiriskan belum
berhenti sampai di situ. Ketika, misalnya, terdakwa terbukti tidak
bersalah di pengadilan dan kemudian divonis bebas atau lepas oleh hakim,
jaksa penuntut umum nyaris selalu melakukan upaya hukum kasasi. Padahal
sudah jelas dan gamblang hukum acara pidana di Indonesia melarang keras
upaya hukum banding dan kasasi terhadap putusan yang membebaskan atau
melepaskan terdakwa (Pasal 67 dan 244 UU No 8 Tahun 1981 tentang
Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP, jo Pasal 26 UU No 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).
Hakim memang boleh bahkan wajib
menggali, mengikuti dan memahami hukum materil berupa nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 Ayat 1 UU No. 48
Tahun 2009). Namun menjadi kontroversial mana kala hakim dan jaksa
menggali atau mengesampingkan hukum acara (hukum formil). Pasalnya,
hukum acara menganut asas lex stricta, apa yang tertulis adalah
mengikat, sehingga dikatakan di luar yang tertulis adalah bukan hukum
acara alias tidak boleh dilakukan dalam perspektif beracara.
Praktik peradilan kasasi terhadap
putusan bebas selalu didasarkan pada yurisprudensi Mahkamah Agung No
K/275/Pid/1983 dan Kepmenkeh RI No. M-14-PW.07.03 Tahun 1983 tanggal 10
Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP. Yurisprudensi
dan Kepmenkeh ini sangat kontroversial karena mengesampingkan hukum
acara yang diatur undang-undang. Logika saja, masak aturan selevel
Keputusan Menteri bisa-bisanya mengesampingkan undang-undang (KUHAP).
Hukum memang untuk keadilan tapi
harus tertib supaya ada kepastian hukum. Jika tidak tertib dan
gagah-gagahan mentang-mentang pegang kuasa, namanya bukan negara hukum
(rechtstaat) melainkan negara kekuasaan (machtstaat) barbar!
Lawak hukum masih terus berlanjut.
Setelah terdakwa divonis Mahkamah Agung maka, biasanya, dalam
kasus-kasus yang mendapat sorotan luas masyarakat, jaksa penuntut umum
yang tidak puas akan mengajukan upaya hukum luar biasa berupa peninjauan
kembali (PK) terhadap putusan hakim Mahkamah Agung tersebut. Sedangkan
sudah jelas hukum acara (KUHAP) menentukan bahwa PK merupakan haknya
terpidana atau ahli warisnya (bukan haknya jaksa penununtut umum) (Pasal
263 KUHAP). Rasionalitasnya adalah, negara yang dalam hal ini diwakili
oleh jaksa penuntut umum telah selesai diberi kesempatan oleh hukum
untuk membuktikan perbuatan terdakwa di semua tingkat persidangan yang
dibolehkan undang-undang.
Kita tidak hanya bicara kasus-kasus
besar serupa kasus Antasari. Realitas di atas sudah jamak terjadi di
mana-mana. Makanya peradilan sesat bukan hanya kasus Sum Kuning (1971),
Sengkon dan Karta (1977), Muhamaad Siradjudin alias Pak De dalam kasus
pembunuhan model cantik Dice Budimuljono (1987), aktivis buruh Marsinah
(1994), wartawan Bernas Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin (1997),
suami istri Risman-Rustin Lakoro (2001), Prita Mulya Sari (2010) dan
banyak lagi sebagaimana dicatat dan dikompilasi oleh E.A. Pamungkas
dalam bukunya Peradilan Sesat Membongkar Kesesatan Hukum di Indonesia
(2010).
Peradilan sesat sesungguhnya bisa
dilacak dengan mudah dari kejanggalan proses penyidikan, penuntutan,
persidangan dan upaya hukum biasa atau luar biasa (banding, kasasi,
peninjauan kembali). Dalam kasus serupa kasus Udin, Antasari dan Prita
terindikasi kuat ada setan politik dan kapital bermain di dalam kasus
itu. Kalau sudah begini, penulis hanya bisa bilang, wallahu alam. (*)
http://padangekspres.co.id/?news=nberita&id=927#.TnL8m9XFTlI.facebook
KANTOR HUKUM SUTOMO, S.H. & REKAN
ADVOKAT & KONSULTAN HUKUMTindak pidana korupsi, ketenagakerjaan, hukum bisnis, perkawinan, dan tata usaha negara. Advokat PERADI (NIA 07.11029), alumni dengan yudisium Cumlaude dari Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, dengan minat yang luas dan aktif sebagai penulis di media massa. Jl. R…
Ironis, Kebenaran Formil Jadi "Raja" Dalam Perkara Pidana
Aturan Safety Riding Lampu Siang Hari
Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent)
Salah Paham Terhadap Praktik Outsourcing
Pengeritik Kok Disuruh Cari Solusi