Sabtu, 24 Maret 2012

Stop Intervensi Pengadilan!


Oleh: Sutomo (*)
 
Akhir-akhir ini terlihat kecenderungan pengerahan massa di Pengadilan Negeri Padang/Pengadilan Tipikor Padang. Sebut saja pengerahan mahasiswa dan dosen STAIN Djambek Bukittinggi tiap kali sidang perkara dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan Ketua STAIN Djambek Bukittinggi, Ismail Novel. Harian ini antara lain memberitakan kericuhan massa di Pengadilan Tipikor Padang, Kamis (22/3).

Sejauh yang penulis pantau, tujuan dari pengerahan massa ke Pengadilan Negeri Padang tersebut adalah semacam unjuk rasa supaya terdakwa yang sedang disidangkan dibebaskan oleh hakim. Inilah sekedar contoh tekanan publik pada lembaga pengadilan di tingkat lokal.

Terjadinya kericuhan di pengadilan, bahkan sampai seorang terdakwa jaksa Sistoyo dibacok keningnya, dan aksi gigit sendal jepit oleh Bupati Subang Eep Hidayat beserta massa di Mahkamah Agung belum lama ini, karena tidak puas dengan putusan hakim kasasi, adalah diantara kejadian yang menghiasi kolom hukum dan kriminal di media massa lokal dan nasional.

Varian lain dari tekanan publik pada proses pengadilan yang sedang berjalan adalah, pengerahan massa menyampaikan aspirasi supaya terdakwa dihukum. Subvarian yang lebih terkesan intelek adalah, aksi intelektual berupa eksaminasi terhadap putusan pengadilan yang belum berkekuatan hukum tetap, lalu hasil eksaminasi tersebut diekspose ke publik dan disampaikan ke lembaga-lembaga terkait, supaya mempengaruhi putusan pengadilan lebih tinggi, yakni menghukum terdakwa.

Dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada rekan-rekan yang melakukan eksaminasi tersebut, harus penulis sampaikan bahwa eksaminasi terhadap perkara yang sedang berjalan tersebut sangatlah riskan. Namun penulis tetap tidak sependapat jika eksaminator tersebut dilaporkan ke proses pidana di kepolisian.

Fenomena intervensi kepada lembaga pengadilan tersebut, baik langsung maupun tidak langsung, sangat membahayakan sistem negara demokrasi yang berlandaskan supremasi hukum. Lantas, bagaimana penyampaian aspirasi yang proporsional ketika proses hukum sedang berjalan di lembaga pengadilan?

Setidaknya ada tiga subsistem yang terlibat dalam suatu sistem pengadilan pidana: jaksa, terdakwa/penasehat hukumnya, dan hakim. Kepaniteraan dan juru sita merupakan pendukung atministratif tugas-tugas hakim.

Aspirasi terdakwa diwakili oleh advokat atau penasehat hukum (PH). Aspirasi masyarakat dan negara diwakili oleh jaksa penuntut umum (JPU). Dan “wasitnya” adalah hakim. Ketiganya berjalan sesuai proporsinya masing-masing dalam kerangka sistem pengadilan pidana. Dalam kerangka sistem itu pulalah aspirasi disampaikan secara proporsional.

Oleh karena massa yang menghendaki terdakwa dibebaskan berada sekubu dengan terdakwa, aspirasinya disampaikan kepada PH. Sebaliknya, kubu yang menghendaki tersangka/terdakwa dihukum menyampaikan aspirasinya ke JPU. JPU dan PH kemudian menyampaikan aspirasinya ke hakim melalui forum persidangan. Hakim-lah yang akan memutuskan siapa yang benar, apakah JPU atau terdakwa/PH.

Nanti di akhir proses persidangan, jika terdakwa bersalah putusannya adalah penghukuman. Sebaliknya jika terdakwa tidak bersalah maka putusannya adalah pembebasan atau lepas dari tuntutan hukum. Atas putusan demikian, jika merasa tidak puas, para pihak berhak menempuh upaya hukum banding atau kasasi.

Karena itu, dengan asumsi hakim tidak lain hanya memeriksa dan memutus perkara menurut hukum, tidak ada anasir melawan hukum seperti suap atau pemerasan, maka sebenarnya tidak ada kepentingan bagi hakim apakah terdakwa dihukum atau dibebaskan/dilepaskan. Hakim hanyalah pengandil atau semacam “wasit”.

Bagaimana dengan hak setiap warga negara untuk unjuk rasa, termasuk hak mahasiswa untuk demonstrasi menyatakan pendapat? Jika titik pijaknya adalah hak maka setiap warga negara berhak untuk demonstrasi menurut tata cara yang diatur perundangan. Ibarat kata, sama berhaknya setiap orang untuk minum susu. Tapi tidak setiap susu diembat termasuk susu tetangga. Proporsionalitas penyaluran aspirasi tetap harus dijaga supaya kultur hukum yang beradab terjaga dengan baik, sebagai garis pembeda antara ketertiban dan kekacauan.

Demonstrasi mahasiswa yang menghendaki terdakwa korupsi dibebaskan tersebut mau tak mau terkesan ironis di mata publik. Betapa tidak, biasanya mahasiswa berdemonstrasi supaya terdakwa korupsi dihukum, ini sebaliknya demonstrasi supaya terdakwa korupsi dibebaskan. Walaupun proporsionalitas kedua macam demonstrasi tersebut dikatakan sebagai tidak pas seperti diutarakan di atas.

Ekses dari tekanan publik yang tidak proporsional tersebut, termasuk penghakiman oleh pers, sedikit banyak akan mempengaruhi independensi hakim. Sebab, hakim juga manusia yang punya rasa dan jiwa. Wajar ngeri dengan keberingasan massa, dan pula wajar melakukan kalkulasi ketika akan memutus perkara, karena nanti akan dihakimi oleh publik dan media lalu diberi catatan jelek sistem administrasi kepegawaian yang mempengaruhi jenjang karir, jika hakim bersangkutan membebaskan terdakwa yang kuat disorot publik, walaupun hakim ragu akan kesalahan terdakwa.

Secara kalkulatif, menghukum terdakwa korupsi dan terorisme, misalnya, yang kadar kesalahannya diragukan lebih menguntungkan dari segi karir dari pada membebaskannya. Jika terdakwa dihukum, nama hakim akan “harum” di mata publik. Sebaliknya, jika membebaskan terdakwa korupsi maka nama hakim akan dicap negatif sebagai “prokoruptor”.

Maka, ada adagium tidak resmi yang berbunyi: pokoknya, setiap terdakwa korupsi dan terorisme harus dihukum. Kalaupun mau dibebaskan silahkan oleh hakim yang lebih tinggi.

Sekali saja independensi hakim goyah karena tekanan publik maka esensi lembaga pengadilan sudah roboh. Pengadilan tidak ada gunanya lagi, semua hanyalah sandiwara. Sebab,  pengadilan telah terdegradasi menjadi “lembaga penghukuman” atau “lembaga pembebasan”. Keduanya sama berbahaya.(*)

(*) Penulis, Praktisi Hukum

Sabtu, 28 Januari 2012

Aku Tak Percaya Bank dan Asuransi!

Oleh Sutomo (*)

Dari sekian banyak instrumen ekonomi, bank dan asuransi adalah yang paling tak masuk akal. Bagaimana tidak, nasabah setor uang ke bank tapi malah bayar. Sedangkan uang itu dimanfaatkan bank habis-habisan untuk mengeruk keuntungan dengan menyalurkannya ke kredit yang bunganya mencekik, atau, jika malas mengucurkan kredit, uang nasabah tadi akan ditarok ke Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dengan bunga berlipat-lipat dibandingkan bunga yang diberikan pada nasabah penyimpan.

Sekedar gambaran betapa “merusaknya” bank itu, berikut ini adalah nasehat Warren Buffet, orang terkaya nomor dua di dunia saat ini: untuk meraih sukses dan kebebasan keuangan jauhilah pinjaman bank atau kartu kredit!

Maka, wajarlah jika di negara maju seperti Jepang membuat kebijakan bunga bank sangat rendahnya sehingga warga tidak menarok uangnya di bank melainkan menggunakan uangnya untuk bisnis riil.

Memang. Tidak semua produk perbankan itu jelek. Jasa penyimpanan (safe deposit box) bolehlah cukup membantu. Jasa simpanan dalam bentuk emas juka oke. Oh, ya, masih ada yang lain yang oke?

Sama tak masuk akalnya adalah asuransi. Bagaimana mungkin kita mengalihkan resiko pada asuransi dengan membayar premi (premi pasti harus dibayar) sedangkan resiko itu tidaklah pasti akan terjadi, tapi pembayaran premi pasti harus dilunasi. Jika resiko tidak terjadi dalam kurun tertentu masa tanggungan, premi dianggap hangus. Owww, tidak adil banget.

Mendingan uang digunakan untuk investasi riil, atau ditabung sendiri (bukan di bank, tapi dalam bentuk emas, sertifikat saham, dll). Saat resiko benar-benar terjadi, uang tadi bisa digunakan untuk mengatasi resiko tersebut.

Sesungguhnya, ada alasan lain mengapa aku tak suka asuransi dalam segala bentuk dan turunannya. Ya, karena tak tahan dengan prosedur birokrasinya. Ketika resiko benar-benar terjadi, harus siapkan bukti inilah, bukti itulah, fotocopy itulah, inilah, lalu menunggu. Harap-harap cemas permohonan dikabulkan pihak asuransi. Seolah-olah nasabah yang memohon dan meminta-minta. Dan asuransi adalah malaikat penolong. Padahal, duitnya duit nasabah!

Sore kemaren agen asuransi datang ke rumah. Baru duduk sudah kusampaikan pendirian di atas. Langsung deh agen itu ngacir. Ha ha ha ha!(*)

(*) Penulis advokat/praktisi hukum, tinggal di Padang

Rabu, 25 Januari 2012

Ironis, Kebenaran Formil Jadi "Raja" dalam Perkara Pidana

Oleh Sutomo (*)

Ini kisah nyata. Seorang hakim ketua terlihat tenang tanpa beban sedikit pun, hanya bisik-bisik sebentar dengan kedua hakim anggota di kiri dan kanannya, lalu berkata: "Ya, sudah, kami vonis saudara lima tahun, sama dengan tuntutan jaksa." Tok! Palu hakim diketok. 

Ketokan palu hakim tersebut hanya berjarak paling banter dua menit sesudah Jaksa Penuntut Umum membacakan surat tuntutannya. Artinya, majelis hakim tidak melakukan musyawarah dan mencantumkan pertimbangan putusan dalam buku putusan, kalaupun dibuat sudah pasti dibuat belakangan saja. Artinya pula, terdakwa tidak diberi waktu yang wajar untuk membela diri (terdakwa tanpa penasehat hukum), hanya diberi pertanyaan bernada formalitas (apakah terdakwa ada pembelaan?). Bayangkan, seseorang dirampas kemerdekaannya selama lima tahun, tanpa pertimbangan apapun mengapa terdakwa dihukum sampai lima tahun.

Saya sepontan tercengang. Waaaaaah, merampas kemerdekaan orang selama lima tahun, begitu saja.

Surat tuntutan perkara tersebut pun hanya dibacakan secepat kilat. Hanya amar tuntutan saja dibacakan. Tak sampai tiga menit selesai dibacakan. Selebihnya dianggap terbacakan. Serba cepat dan terburu-buru.

Kejadian serupa itu sekarang acap terjadi sejak di Pengadilan Negeri berdiri kamar baru bernama Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor). Sejak berdiri Pengadilan Tipikor tersebut, Pengadilan Negeri bersangkutan diserbu perkara korupsi dari seluruh kabupaten dan kota seantero propinsi. Ditambah perkara pidana umum dan perdata (plus tambahan dari kabupaten sebelah yang belum ada pengadilannya), bisa dibayangkan berapa banyaknya perkara yang harus disidangkan tiap hari di pengadilan tersebut.

Jadilah suasana pengadilan mirip pasar. Riuh rendah. Orang-orang lalu lalang penuh sesak di lobi, kiri kanan gedung, di samping ruang sidang, dan di halaman parkir, bahkan di muka WC. Asap rokok mengepul di mana-mana. Suara lolongan anak kecil menjerit-jerit dan berlari-lari (padahal sudah ada pengumuman dilarang bawa anak kecil ke pengadilan).

Jadi jangan heran jika persidangan jadi serba terburu-buru. Nyaris semua dokumen perkara pidana atau perdata dianggap terbacakan. Memang, bisa saja tetap ngotot untuk dibacakan seluruhnya, tapi antusiasme nyaris tidak ada. Seperti tak sabar cepat selesai. Maklum, perkara lain sudah menunggu disidangkan pula.

Pertanyaan pada saksi-saksi dan terdakwa sangat bernada formalitas belaka. "Benar saudara pernah diperiksa di kepolisian? Apakah keterangan saudara dalam BAP benar?". Begitu saja. Pertanyaan lain hanya formalitas belaka. Tidak ada kelihatan upaya keras untuk menggali kebenaran materil, kebenaran yang sesunguh-sungguhnya sebagaimana terungkap di muka persidangan, yang digali dari keterangan saksi-saksi langsung di muka persidangan, keterangan terdakwa, kroscek dengan alat bukti surat, dan seterusnya.

Untuk perkara pidana keadaan di atas sangat memprihatinkan. Karena perkara harusnya menggali kebenaran materil. Tapi yang terjadi, sejak tumpukan perkara pasca berdirinya Pengadilan Tipikor, kebenaran formil yang lebih mengemuka diungkap dalam persidangan perkara pidana. Yakni, kebenaran sejauh yang tertulis dalam BAP tingkat penyidikan dan surat dakwaan saja.

Suasana kebatinan yang terasa di lingkungan pengadilan adalah, ya, sudah semua terdakwa perkara korupsi pokoknya harus dihukum. Bersalah tak bersalah pokoknya terdakwa harus dihukum. Terbukti tak terbukti dakwaan pokoknya terdakwa harus dihukum. Pidana atau perdata fakta hukum yang terungkap di persidangan, sama saja, terdakwa harus tetap dihukum.

Kalaupun terdakwa harus bebas, biarlah itu urusan hakim di Pengadilan Tinggi. Lihatlah. Jelas sekali cari aman. Semua demi karir dan popularitas. Bukan demi hukum dan keadilan. "Lembaga pengadilan" dalam kenyataannya berpotensi terdegradasi menjadi "lembaga penghukuman".(*)

(*) Penulis Advokat/Praktisi Hukum, tinggal di Padang


Rabu, 23 November 2011

Ilusi Ganti Rugi Korupsi


Oleh Sutomo (*)
Eksekusi ganti rugi dalam kasus korupsi banyak ditemui tak beres! Acap terjadi disebabkan unsur "memperoleh" dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagai dasar hukum ganti rugi pidana uang pengganti tidak tergambar uraiannya dalam surat dakwaan, sehingga tak terelaborasi pembuktiannya di persidangan, otomatis juga dalam surat tuntutan. Lucunya, tetap banyak yang dikabulkan hakim. Nah, pas mau eksekusi, baru kelabakan harta yang mana yang mau dieksekusi.
Harta terpidana yang dieksekusi tersebut haruslah harta yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi. Objeknya harus jelas dan tertentu.
Dengan kejadian serupa itu jangan heran jika pemberantasan korupsi baru sebatas menghukum orang. Tapi gagal memulihkan kerugian keuangan negara.

Pemaksaan eksekusi pada objek yang tak jelas dan tertentu mengakibatkan terpidana merasa dihukum dua kali. Manakala hartanya yang bukan berasal dari tindak pidana korupsi dicoba diutak-atik jaksa eksekutor. Tindakan eksekutor mana, jika tetap dipaksakan, tak pelak berpotensi sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheids daad), vide Pasal 1365 KUH Perdata. Terpidana dapat mengajukan gugatan ke pengadilan dengan dasar hukum Pasal 1365 KUH Perdata tersebut.  

Kegagalan eksekusi tersebut bisa ditelusuri penyebabnya secara berangkai dari mulai penyidikan sampai penuntutan. Biasa ditemui dalam surat dakwaan hanya disebutkan cara-cara bagaimana suatu tindak pidana korupsi dilakukan, namun tidak menguraikan “perolehan” harta dari hasil korupsi. Persisnya, tidak ada uraian bagaimana cara harta yang diduga hasil korupsi tersebut diperoleh berikut rincian perhitungannya sesuai audit. Sedangkan jelas-jelas dakwaan mencantumkan Pasal 18 ayat (1) huruf b dan ayat (2) UU No 31 Tahun 1999.

Jadilah kasus korupsi pepesan kosong. Aparatnya berkeringat tapi tak menghasilkan apa-apa, ibarat orang jalan di tempat. Pasalnya, setiap kasus yang ditangani ada biaya untuk mengusutnya. Untuk kasus korupsi, biaya yang dikeluarkan negara bisa puluhan juta rupiah. Namun, pada garis finis, alih-alih biaya itu kembali, yang terjadi malah tekor.

Sebagaimana diketahui, unsur “memperoleh” tersebut haruslah dibuktikan berapa persisnya harta hasil korupsi yang diperoleh terdakwa. Untuk itu, harus dihitung harta terdakwa sebelum tindak pidana korupsi dilakukan, dan berapa harta terdakwa sesudah korupsi dilakukan, sehingga didapatkan hasil penambahan kekayaan terdakwa yang diperoleh dari hasil korupsi.

Keseriusan pengembalian kerugian keuangan negara harusnya juga tergambar mana kala semua penyertaan (deelneming) vide Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, yakni semua pihak yang terlibat menerima atau memperoleh harta dari hasil korupsi, semuanya diusut dan didakwa ke pengadilan.

Jika pihak yang terlibat tidak didakwa semua, maka sudah dapat dipastikan kerugian keuangan negara tidak akan bisa diselamatkan secara utuh. Sebab, proses pengembalian kerugian keuangan negara yang tidak mau sukarela adalah dengan eksekusi, lah, bagaimana mau mengeksekusi jika yang bersangkutan tidak dijadikan tersangka dan terdakwa di pengadilan. Hal krusial begini yang acap kali tak disadari sehingga “tebang pilih” dalam kasus korupsi dianggap ringan dan biasa saja.

Mengingat, jika konteks korupsi adalah perbuatan melawan hukum (Pasal 2) dan penyalahgunaan wewenang (Pasal 3), maka orientasi penegakan hukum haruslah pengembalian kerugian keuangan negara. Tak ada artinya pengusutan korupsi jika kerugian keuangan negara tidak berhasil diselamatkan.

Walaupun “kerugian keuangan negara atau perekonomian negara” sebagai unsur Pasal 2 dan Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 tersebut tidak bersifat wajib yang ditandai kata “dapat” dalam redaksional pasal bersangkutan, namun menurut Nur Basuki Minarno (2008), kerugian keuangan negara tersebut haruslah ada baru terdapat relevansi korupsinya.

Parameter kerugian keuangan negara tersebut berdasarkan Pasal 1 angka 22 UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara jo. Pasal 35 ayat (4) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, haruslah “nyata dan pasti”. Kerugian keuangan negara yang baru “akan” atau “belum” terjadi (potential loss), tidak tergolong kerugian keuangan negara.

Supaya kerugian keuangan negara itu jelas legalitas “nyata dan pasti”-nya harus ada audit. Audit untuk kepentingan proses hukum projustitia harusnya dilakukan lembaga independen, yang tidak memihak, dalam hal ini Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) vide Pasal 10 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 11 UU No 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Bukan audit seperti biasa dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), sesuai permintaan Kejaksaan atau Kepolisian, karena BPKP berada dalam satu cabang kekuasaan ketatanegaraan yang sama dengan Kejaksaan dan Kepolisian, yakni sama-sama cabang kekuasaan eksekutif.

Jaksa atau polisi bisa saja menghitung kerugian keuangan negara akan tapi perhitungan demikian tidak memiliki legalitas mengikat menurut hukum. Umpama kata penulis bisa saja berpendapat penyakit kanker usus si A disebabkan kurang makan sayur, tapi pendapat ini tidak mengikat dan memiliki legalitas seperti dilakukan seorang dokter ahli.

Putusan Mahkamah Konstitusi No.003/PUU-IV/2006 tanggal 24 Juli 2006 dalam pertimbangan putusan pengujian Pasal 2 ayat (1) UU No 31 Tahun 1999 menyebutkan, “Untuk mempertimbangkan keadaan khusus dan kongkret sekitar peristiwa yang terjadi, yang secara logis dapat disimpulkan kerugian negara terjadi atau tidak terjadi, haruslah dilakukan oleh ahli dalam keuangan negara, perekonomian negara, serta ahli dalam analisis hubungan perbuatan seseorang dengan kerugian.”

Memaksa mendakwakan kerugian keuangan negara yang belum/tidak nyata dan pasti pada gilirannya akan terbentur saat eksekusi kelak. Sebab, harta yang dieksekusi haruslah jelas dan tertentu objeknya. Kompleksitas demikian yang juga acap tak disadari dengan baik dalam penyidikan, penuntutan, dan pembuktian perkara korupsi di pengadilan. Main terabas saja.

Perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan yang tidak berimplikasi merugikan keuangan negara tidaklah tergolong perbuatan korupsi. Paling banter hanya kesalahan administrasi belaka. Kecuali kesalahan administrasi berupa pemalsuan, sekalipun tidak merugikan keuangan negara, tetap dapat didakwa korupsi dengan Pasal 9 UU No 31 Tahun 1999.

Sebaliknya, terdapatnya kerugian keuangan negara, tapi tidak terpenuhinya unsur melawan hukum (wederrechtelijk) dan penyalahgunaan kewenangan (detournement de pouvoir), maka perbuatan tersebut bukanlah tindak pidana korupsi sesuai konteks Pasal 2 dan Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999. Seumpama ketekoran (kerugian) keuangan negara dalam pemberantasan korupsi akibat ganti rugi gagal dieksekusi oleh jaksa eksekutor.

Berbeda halnya dengan pidana korupsi penyuapan, pemerasan, gratifikasi (hadiah atau pemberian dalam arti luas), dan bentuk lain korupsi yang tidak merugikan keuangan negara, maka orientasi pidana badan terhadap terdakwa mendapatkan relevansinya, selain tentu saja pidana denda.

Perhitungan kerugian keuangan negara dalam pemberantasan korupsi memang sederhana kedengarannya. Namun sangat kompleks ketika dilaksanakan dalam praktik. Jadi, jangan “main gas” saja jika kerugian keuangan negara tidak nyata dan tidak pasti alias hanya pendapat subjektif penyidik. Karena, nanti, kalaupun menang di pengadilan pasti kebentur waktu eksekusi.(***)

(*) Sutomo, Advokat/Praktisi Hukum (NIA 07.11029) di Padang

Jumat, 14 Oktober 2011

"Insiden" Makan Siang Djufri-Jaksa


Saat membuka Facebook Kamis (13/10) siang, penulis terkejut melihat foto makan siang jaksa dan Djufri, anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat dan terdakwa sekaligus tahanan dalam kasus korupsi pengadaan tanah pembangunan kantor DPRD Kota Bukittinggi dan pool kendaraan Subdinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bukittinggi tahun 2007, terpampang di dinding Facebook milik rekan Roni Saputra, Koordinator Divisi Pembaruan Hukum dan Peradilan LBH Padang.

Banyak yang menduga peristiwa ini akan menjadi berita besar. Benar saja. Media massa khususnya yang terbit di Padang menjadikan peristiwa makan siang ini sebagai berita utama pada keesokan hari, Jum’at (14/10). Media nasional pun menyorotnya, seperti Kompas.

Sebagaimana diberitakan, Djufri kepergok wartawan tengah makan siang bersama Jaksa Penuntut Umum (JPU) Zulkifli dan Kasi Penuntutan Kejati Sumbar, Idial, di rumah makan Lamun Ombak (LO), Pasar Usang, Batanganai, Kabupaten Padang Pariaman, 30 kilo meter dari Lembaga Pemasyarakatan Muaro Kota Padang tempat di mana seharusnya Djufri ditahan, pada hari Kamis (13/10).

Idial membela diri bahwa acara makan siang itu sudah izin pengadilan. Pengadilan telah mengeluarkan penetapan bagi Djufri berobat ke RS Siti Rahma di Jalan By Pass Kota Padang. Namun karena jadwal berobat pukul 15.00 Wib, maka siang sebelum jadwal itu tiba, Djufri mengaja JPU Zulkifli dan Kasi Penuntutan Kejati Sumbar untuk makan siang. Jauhnya tempat makan siang ini diduga kuat untuk menghindari sorotan publik. Karena ruma makan yang sama (LO) ada Kota Padang, bahkan tak sampai 500 meter dari PN Padang, tempat Djufri biasa disidangkan, tepatnya di Jalan Khatib Sulaiman Padang.

Nah, dari kronologis peristiwa di atas pertanyaannya adalah, apakah pantas acara makan siang tersebut dari sudut pandang hukum dan etika profesi seorang jaksa?

Berdasarkan Pasal 30 ayat (1) huruf b UU No. 16 Tahun 2006 tentang Kejaksaan, melaksanakan penetapan hakim merupakan tugas dan wewenang seorang jaksa dibidang pidana. Sampai di sini tidak ada masalah.

Sedangkan berdasarkan Doktrin Kejaksaan Tri Krama Adhyaksa, seorang jaksa dituntut kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri pribadi dan keluarga, maupun kepada sesama manusia (Satya); kesempurnaan dalam bertugas dan yang berunsur utama pemilikan rasa tanggung jawab terhadap Tuhan Yang maha Esa, keluarga, dan sesama manusia (Adhi); dan bijaksana dalam tutur kata dan tingkah laku, khususnya dalam penetrapan tugas dan kewenangannya (Wicaksana).

Dari sudut pandang etika, apakah bijaksana seorang jaksa yang tugasnya menuntut seorang terdakwa tapi bercengkrama akrab, makan bersama, tertawa-tawa, pergi jauh ke luar kota untuk makan siang sementara terdakwa adalah seorang tahanan dan penetapan yang diberikan hakim adalah untuk berobat di rumah sakit atau bukan untuk melalang buana ke luar kota?!

Percengkramaan jaksa dan terdakwa sampai jauh ke luar kota dan di tempat tertutup pula, tepatnya di ruang VIP RM LO, perginya dengan mobil pribadi plat hitam, tanpa pengawalan polisi pula…sudah barang tentu menimbulkan dugaan macam-macam dari publik. “Yang paling mencurigakan adalah kenapa mereka harus makan di ruangan tertutup, dan jauh dari Kota Padang. Dua jaksa ini harus diperiksa,” ujar Roni Saputra (Padang Ekspres, 14/10).

Posisi terdakwa (Djufri) dan Jaksa (Zulkifli dan Idial) bertolak belakang. Berlawanan. Terdakwa adalah pihak yang didakwa. Dan jaksa adalah pihak yang menuntut terdakwa. Terdakwa adalah lawan jaksa, sebaliknya jaksa adalah lawan bagi terdakwa. Jadi agak susah dicerna logika akal sehat orang yang bermusuhan secara hukum tapi berpagut-pagut dengan mesranya. Ada apa ini?

Akar budaya bisa diurut dengan mudah. Inilah cermin budaya guyub orang Indonesia, kekeluargaan, kebersamaan, gotong royong. Walaupun bermusuhan secara hukum tapi secara pribadi tidak ada permusuhan sama sekali. Ini sikap profesional namanya. Namun permasalahannya berada di jalur alur dan patut, jalur etika.

Penulis sendiri mengenal kedua jaksa itu, Zulkifli dan Idial. Idial adalah senior di Fakultas Hukum Unand, seorang jaksa yang baik dan pintar, beberapa kali pernah bertemu berlawanan di pengadilan, orang yang tenang dan humoris. Karena kepribadiannya ini, penulis tidak berpikir buruk bahwa ada dugaan suap dan sebagainya di balik “insiden” makan siang itu. Akan tetapi publik umum bisa saja mempersepsi sebaliknya.

Karena itu, untuk kebaikan jaksa bersangkutan sendiri dan demi wibawa institusi, ada baiknya peristiwa ini didalami oleh Komisi Kejaksaan jika ada laporan untuk itu, sekaligus diperiksa oleh atasan jaksa tersebut secara hirarkis dan institusional. Bukan semata untuk maksud menghukum, tetapi untuk supaya ada evaluasi untuk perbaikan di masa mendatang. Jika ditemui indikasi pidana maka wajib diberlakukan asas persamaan di depan hukum.(*)

(*) Penulis Praktisi Hukum.

Jumat, 16 September 2011

Lucunya Hukum di Negeri Ini



SUTOMO

Seorang sejawat senior saya, advokat Virza Benzani, tak habis-habisnya heran melihat realita persidangan di pengadilan kita. Suatu hari ia bercerita soal pengamatannya atas persidangan kasus korupsi. Bagaimana seorang panitera pengganti kasus korupsi termangu-mangu bahkan terkantuk-kantuk di persidangan tanpa terlihat sedikit pun mencatat dialog pertanyaan hakim dan terdakwa. Dengan kondisi begini entah apa yang akan dituangkan panitera pengganti itu ke dalam Berita Acara Persidangan, sedangkan persidangan itu menyangkut nasib orang dan uang negara.

Pada saat bersamaan terlihat pula hakim menasehati terdakwa yang belum tentu bersalah, dengan kalimat-kalimat yang menjurus kepada putusan bersalah. Penulis sendiri pernah melihat langsung kejadian serupa. “Loh, itu ‘kan tidak boleh!,” serga seorang hakim kepada terdakwa. Padahal, sudah jelas hakim dilarang keras menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa (Pasal 158 KUHAP).

Nanti ada gilirannya hakim berpendapat. Hakim hanya boleh berpendapat dalam putusan. Tugas hakim hanya memeriksa dan kemudian, pada akhir rangkaian persidangan, memutus suatu perkara apakah terdakwa bersalah atau tidak atau apakah gugatan perdata terbukti atau tidak.

Pada suatu hari di masa yang lalu sempat pula penulis menyatakan dalam sebuah pleidoi bagaimana hakim harusnya sebagai “wasit” namun ikut jadi “pemain” dalam suatu persidangan. Lucunya, ini memang dibolehkan dalam hukum kita.

Buktinya, dalam setiap putusan perkara pidana hampir selalu hakim membahas pembuktian unsur-unsur dalam pertimbangan putusannya, mirip apa yang dilakukan jaksa penuntut umum dalam surat tuntutan, sedangkan tugas pembuktian dalam suatu perkara pidana harusnya atau idealnya dibebankan kepada Jaksa Penuntut Umum yang mewakili negara dan masyarakat. Dalam keadaan ini hakim tak ubahnya Jaksa Penuntut Umum (semi-prosecutor).

Soal “wasit” merangkap “pemain” tersebut sudah menjadi perhatian Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) sejak lama. Dimana dalam pengadilan pidana di Indonesia, hakim tidak memeriksa fakta perkara langsung dari sumbernya (fresh evidence) tetapi dari BAP yang sudah disiapkan oleh penyidik dalam pemeriksaan fase pra-adjudikasi. Pemeriksaan hakim dalam sidang pengadilan demikian menjadi cenderung bersifat konfirmasi terhadap keterangan yang sudah pernah diberikan dalam BAP. Dalam keadaan seperti itu kedudukan hakim pun menjadi semi-prosecutor. (Luhut MP Pangaribuan et.all, Menuju Sistem Peradilan Pidana yang Akusatorial dan Adversarial Butir-Butir Pikiran Peradi untuk Draf RUU-KUHAP, Papas Sinar Sinanti, Jakarta, 2010, h. 28)

Hakim idealnya menjaga jarak yang sama terhadap para pihak yang membawa perkaranya ke pengadilan. Benar-benar menjadi pengadil atau wasit yang hanya memimpin persidangan, memeriksa perkara, dan memutuskan siapa yang benar dan siapa yang salah, apakah dakwaan jaksa yang benar atau pembelaan terdakwa yang benar, dengan pertimbangan putusan yang jernih dan rasional. Sehingga tidak perlu terjadi hakim mengesampingkan alat bukti yang signifikan demi dapat menghukum terdakwa yang seharusnya dibebaskan.

Keanehan yang memiriskan belum berhenti sampai di situ. Ketika, misalnya, terdakwa terbukti tidak bersalah di pengadilan dan kemudian divonis bebas atau lepas oleh hakim, jaksa penuntut umum nyaris selalu melakukan upaya hukum kasasi. Padahal sudah jelas dan gamblang hukum acara pidana di Indonesia melarang keras upaya hukum banding dan kasasi terhadap putusan yang membebaskan atau melepaskan terdakwa (Pasal 67 dan 244 UU No 8 Tahun 1981 tentang Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP, jo Pasal 26 UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).

Hakim memang boleh bahkan wajib menggali, mengikuti dan memahami hukum materil berupa nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 Ayat 1 UU No. 48 Tahun 2009). Namun menjadi kontroversial mana kala hakim dan jaksa menggali atau mengesampingkan hukum acara (hukum formil). Pasalnya, hukum acara menganut asas lex stricta, apa yang tertulis adalah mengikat, sehingga dikatakan di luar yang tertulis adalah bukan hukum acara alias tidak boleh dilakukan dalam perspektif beracara.

Praktik peradilan kasasi terhadap putusan bebas selalu didasarkan pada yurisprudensi Mahkamah Agung No K/275/Pid/1983 dan Kepmenkeh RI No. M-14-PW.07.03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP. Yurisprudensi dan Kepmenkeh ini sangat kontroversial karena mengesampingkan hukum acara yang diatur undang-undang. Logika saja, masak aturan selevel Keputusan Menteri bisa-bisanya mengesampingkan undang-undang (KUHAP).

Hukum memang untuk keadilan tapi harus tertib supaya ada kepastian hukum. Jika tidak tertib dan gagah-gagahan mentang-mentang pegang kuasa, namanya bukan negara hukum (rechtstaat) melainkan negara kekuasaan (machtstaat) barbar!

Lawak hukum masih terus berlanjut. Setelah terdakwa divonis Mahkamah Agung maka, biasanya, dalam kasus-kasus yang mendapat sorotan luas masyarakat, jaksa penuntut umum yang tidak puas akan mengajukan upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali (PK) terhadap putusan hakim Mahkamah Agung tersebut. Sedangkan sudah jelas hukum acara (KUHAP) menentukan bahwa PK merupakan haknya terpidana atau ahli warisnya (bukan haknya jaksa penununtut umum) (Pasal 263 KUHAP). Rasionalitasnya adalah, negara yang dalam hal ini diwakili oleh jaksa penuntut umum telah selesai diberi kesempatan oleh hukum untuk membuktikan perbuatan terdakwa di semua tingkat persidangan yang dibolehkan undang-undang.

Kita tidak hanya bicara kasus-kasus besar serupa kasus Antasari. Realitas di atas sudah jamak terjadi di mana-mana. Makanya peradilan sesat bukan hanya kasus Sum Kuning (1971), Sengkon dan Karta (1977), Muhamaad Siradjudin alias Pak De dalam kasus pembunuhan model cantik Dice Budimuljono (1987), aktivis buruh Marsinah (1994), wartawan Bernas Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin (1997), suami istri Risman-Rustin Lakoro (2001), Prita Mulya Sari (2010) dan banyak lagi sebagaimana dicatat dan dikompilasi oleh E.A. Pamungkas dalam bukunya Peradilan Sesat Membongkar Kesesatan Hukum di Indonesia (2010).

Peradilan sesat sesungguhnya bisa dilacak dengan mudah dari kejanggalan proses penyidikan, penuntutan, persidangan dan upaya hukum biasa atau luar biasa (banding, kasasi, peninjauan kembali). Dalam kasus serupa kasus Udin, Antasari dan Prita terindikasi kuat ada setan politik dan kapital bermain di dalam kasus itu. Kalau sudah begini, penulis hanya bisa bilang, wallahu alam.(*)

Padang, 15 September 2011

Senin, 10 Januari 2011

Menjadi Oposisi Pemberantasan Korupsi

Mungkin ada yang bertanya mengapa saya cenderung beralih pendirian menjadi sangat kritis terhadap pemberantasan korupsi beberapa tahun terakhir. Alasan mendasar adalah karena peran dan fungsi advokat memang mengharuskan demikian. Mengontrol kinerja aparat hukum lain: polisi, jaksa, dan hakim.

Namun, alasan yang agak pribadi adalah kenyataan bahwa semakin jauh menyelam ke dunia praktisi hukum semakin nampak realitas kesenjangan antara ideal-hukum dengan kenyataan penerapan hukum di lapangan. Betapa banyak pemberantasan korupsi tanpa basis moralitas. 

Diluar tampak memberantas korupsi. Tapi di dalam, setelah ditelisik benar-benar, terungkaplah alasan sebenarnya: sekedar tekanan atasan, target 1-3-5, atau modus mencari keuntungan fragmatis (publikasi media, dapat duit dari saksi-saksi yang berpotensi jadi tersangka, memeras tersangka/terdakwa, menerima suap, dan modus jahat lainnya).

Aksi-aksi korupsi dunia peradilan demikian mudah tercium baunya akan tetapi susah dibuktikan. Karena praktik demikian dilakukan di belakang layar, tanpa bukti transaksi, dan tanpa saksi-saksi. Hanya indikasi saja yang terbaca dari, antara lain, bahasa tubuh, gaya hidup yang tidak sesuai dengan penghasilan, dan sebagainya.

Sangat susah menemukan pemberantasan korupsi berbasis moralitas. Yang saya maksudkan adalah: alasannya benar, dengan cara benar, dan untuk tujuan yang benar pula yaitu tegaknya hukum dan keadilan demi kesejahteraan bangsa. Dengan pendirian bahwa harusnya aparat menjadi hamba pengabdi hukum yang tulus berhati nurani. 

Secara pribadi, sebagai advokat, ketidakpastian hukum demikian adalah justru "ladang"  Sebab, jika hukum sudah mekanis, dijalankan benar-benar, dengan cara yang benar, dan untuk tujuan yang benar pula, maka tidak perlu lagi peran advokat. 

Justru karena hukum serba tidak pasti, maka keberadaan advokat sangat urgen. Namun, advokat bukan hanya sebagai penegak hukum dalam arti sempit, dari sudut klien, atau hanya untuk mencari nafkah, melainkan juga untuk memperjuangkan tujuan-tujuan yang lebih besar, untuk memerankan diri sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution).

Dengan peran advokat yang lebih luas tersebut, advokat harus ikut dalam pusaran perubahan sosial di sekitarnya. Memastikan bahwa konstitusi dijalankan dengan sebaik-baiknya. Karena, memang, dalam awal sejarahnya, advokat adalah penjaga konstitusi. Dulu belum ada Mahkamah Konstitusi. Dan, setelah ada Mahkamah Konstitusi pun, peran advokat sebagai penjaga konstitusi tidak berkurang. Sebab, Mahkamah Konstitusi hanya menjalankan peran dan fungsinya secara pasif, hanya bila ada permohonan saja.

Maka, jika dulu, setidaknya melalui tulisan, terlihat mendukung pemberantasan korupsi nyaris tanpa reserve. Sekarang, justru mengkritisi pemberantasan korupsi dengan sengit. Kemunafikan dan kepalsuan dalam pemberantasan korupsi sudah sampai taraf memuakkan.

Kepalsuan dalam pemberantasan korupsi tersebut tidak saja terlihat pada kasus-kasus besar seperti kasus Gayus HP Tambunan saja, melainkan juga pada kasus-kasus korupsi sekala kecil di daerah-daerah.

Ambil contoh dalam soal penahanan. Sekarang ini ada kecenderungan penahanan dalam kasus korupsi menjadi wajib sifatnya. Sementara menurut KUHAP, penahanan tidak wajib dan pengecualian sifatnya (non arrested is principle, arrested is exception), yakni jika ancaman pidananya lima tahun atau lebih, dan tersangka/terdakwa dikhawatirkan melarikan diri, mengulangi tindak pidana, dan menghilangkan/merusak barang bukti.

Pada banyak kasus, tidak terpenuhi syarat penahanan pun, tersangka/terdakwa tetap ditahan. Misalnya, tersangka/terdakwa tidak mungkin melarikan diri karena sudah dijamin istri/suami, tempat tinnggal tetap dan keluarga tanggungan berada dalam satu rumah; tidak mungkin mengulangi tindak pidana, karena tidak berada lagi pada posisi yang sama untuk melakukan perbuatan pidana yang disangkakan; tidak mungkin menghilangkan/merusak barang bukti, karena semua barang bukti sudah disita penyidik. Akan tetapi, tersangka/terdakwa tetap ditahan juga. 

Anehnya, dalam beberapa kasus korupsi lainnya, tersangka tidak ditahan, seperti pada kasus PDAM Padang. Padahal, kondisi objektif dan subjektif untuk dilakukan penahanan sudah terpenuhi. Contoh, syarat objektif ancaman pidana lima tahun atau lebih, terpenuhi; syarat kekhawatiran menghilangkan barang bukti  pun terpenuhi, karena banyak barang bukti belum disita dan yang bersangkutan (tersangka) masih menduduki jabatannya sehingga sangat rawan menghilangkan/merusak barang bukti. Namun, tersangka dalam perkara ini tidak ditahan.

Banyak lagi contoh lain yang lebih telanjang. Sehingga dari sini penting dicermati bahwa kinerja aparat hukum tidak hanya harus didukung tapi juga harus diawasi. Dikritisi. Sebab, korupsi mustahil bisa diberantas jika aparat pemberantasnya sendiri masih berkubang dalam lumpur korupsi.(*)