Oleh: Sutomo (*)
Akhir-akhir ini terlihat kecenderungan pengerahan massa di Pengadilan Negeri Padang/Pengadilan
Tipikor Padang.
Sebut saja pengerahan mahasiswa dan dosen STAIN Djambek Bukittinggi tiap kali
sidang perkara dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan Ketua STAIN Djambek
Bukittinggi, Ismail Novel. Harian ini antara lain memberitakan kericuhan massa di Pengadilan Tipikor Padang, Kamis (22/3).
Sejauh yang penulis pantau, tujuan dari pengerahan massa ke Pengadilan Negeri
Padang tersebut adalah semacam unjuk rasa supaya terdakwa yang sedang
disidangkan dibebaskan oleh hakim. Inilah sekedar contoh tekanan publik pada
lembaga pengadilan di tingkat lokal.
Terjadinya kericuhan di pengadilan, bahkan sampai seorang
terdakwa jaksa Sistoyo dibacok keningnya, dan aksi gigit sendal jepit oleh
Bupati Subang Eep Hidayat beserta massa di Mahkamah Agung belum lama ini,
karena tidak puas dengan putusan hakim kasasi, adalah diantara kejadian yang
menghiasi kolom hukum dan kriminal di media massa lokal dan nasional.
Varian lain dari tekanan publik pada proses pengadilan yang
sedang berjalan adalah, pengerahan massa
menyampaikan aspirasi supaya terdakwa dihukum. Subvarian yang lebih terkesan
intelek adalah, aksi intelektual berupa eksaminasi terhadap putusan pengadilan
yang belum berkekuatan hukum tetap, lalu hasil eksaminasi tersebut diekspose ke
publik dan disampaikan ke lembaga-lembaga terkait, supaya mempengaruhi putusan
pengadilan lebih tinggi, yakni menghukum terdakwa.
Dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada rekan-rekan yang
melakukan eksaminasi tersebut, harus penulis sampaikan bahwa eksaminasi
terhadap perkara yang sedang berjalan tersebut sangatlah riskan. Namun penulis
tetap tidak sependapat jika eksaminator tersebut dilaporkan ke proses pidana di
kepolisian.
Fenomena intervensi kepada lembaga pengadilan tersebut, baik
langsung maupun tidak langsung, sangat membahayakan sistem negara demokrasi
yang berlandaskan supremasi hukum. Lantas, bagaimana penyampaian aspirasi yang
proporsional ketika proses hukum sedang berjalan di lembaga pengadilan?
Setidaknya ada tiga subsistem yang terlibat dalam suatu
sistem pengadilan pidana: jaksa, terdakwa/penasehat hukumnya, dan hakim.
Kepaniteraan dan juru sita merupakan pendukung atministratif tugas-tugas hakim.
Aspirasi terdakwa diwakili oleh advokat atau penasehat hukum
(PH). Aspirasi masyarakat dan negara diwakili oleh jaksa penuntut umum (JPU).
Dan “wasitnya” adalah hakim. Ketiganya berjalan sesuai proporsinya
masing-masing dalam kerangka sistem pengadilan pidana. Dalam kerangka sistem
itu pulalah aspirasi disampaikan secara proporsional.
Oleh karena massa
yang menghendaki terdakwa dibebaskan berada sekubu dengan terdakwa, aspirasinya
disampaikan kepada PH. Sebaliknya, kubu yang menghendaki tersangka/terdakwa
dihukum menyampaikan aspirasinya ke JPU. JPU dan PH kemudian menyampaikan
aspirasinya ke hakim melalui forum persidangan. Hakim-lah yang akan memutuskan
siapa yang benar, apakah JPU atau terdakwa/PH.
Nanti di akhir proses persidangan, jika terdakwa bersalah
putusannya adalah penghukuman. Sebaliknya jika terdakwa tidak bersalah maka
putusannya adalah pembebasan atau lepas dari tuntutan hukum. Atas putusan
demikian, jika merasa tidak puas, para pihak berhak menempuh upaya hukum
banding atau kasasi.
Karena itu, dengan asumsi hakim tidak lain hanya memeriksa
dan memutus perkara menurut hukum, tidak ada anasir melawan hukum seperti suap
atau pemerasan, maka sebenarnya tidak ada kepentingan bagi hakim apakah
terdakwa dihukum atau dibebaskan/dilepaskan. Hakim hanyalah pengandil atau
semacam “wasit”.
Bagaimana dengan hak setiap warga negara untuk unjuk rasa,
termasuk hak mahasiswa untuk demonstrasi menyatakan pendapat? Jika titik
pijaknya adalah hak maka setiap warga negara berhak untuk demonstrasi menurut
tata cara yang diatur perundangan. Ibarat kata, sama berhaknya setiap orang
untuk minum susu. Tapi tidak setiap susu diembat termasuk susu tetangga.
Proporsionalitas penyaluran aspirasi tetap harus dijaga supaya kultur hukum
yang beradab terjaga dengan baik, sebagai garis pembeda antara ketertiban dan
kekacauan.
Demonstrasi mahasiswa yang menghendaki terdakwa korupsi
dibebaskan tersebut mau tak mau terkesan ironis di mata publik. Betapa tidak,
biasanya mahasiswa berdemonstrasi supaya terdakwa korupsi dihukum, ini
sebaliknya demonstrasi supaya terdakwa korupsi dibebaskan. Walaupun
proporsionalitas kedua macam demonstrasi tersebut dikatakan sebagai tidak pas
seperti diutarakan di atas.
Ekses dari tekanan publik yang tidak proporsional tersebut,
termasuk penghakiman oleh pers, sedikit banyak akan mempengaruhi independensi
hakim. Sebab, hakim juga manusia yang punya rasa dan jiwa. Wajar ngeri dengan
keberingasan massa, dan pula wajar melakukan kalkulasi ketika akan memutus
perkara, karena nanti akan dihakimi oleh publik dan media lalu diberi catatan
jelek sistem administrasi kepegawaian yang mempengaruhi jenjang karir, jika
hakim bersangkutan membebaskan terdakwa yang kuat disorot publik, walaupun
hakim ragu akan kesalahan terdakwa.
Secara kalkulatif, menghukum terdakwa korupsi dan terorisme,
misalnya, yang kadar kesalahannya diragukan lebih menguntungkan dari segi karir
dari pada membebaskannya. Jika terdakwa dihukum, nama hakim akan “harum” di
mata publik. Sebaliknya, jika membebaskan terdakwa korupsi maka nama hakim akan
dicap negatif sebagai “prokoruptor”.
Maka, ada adagium tidak resmi yang berbunyi: pokoknya,
setiap terdakwa korupsi dan terorisme harus dihukum. Kalaupun mau dibebaskan
silahkan oleh hakim yang lebih tinggi.
Sekali saja independensi hakim goyah karena tekanan publik
maka esensi lembaga pengadilan sudah roboh. Pengadilan tidak ada gunanya lagi,
semua hanyalah sandiwara. Sebab,
pengadilan telah terdegradasi menjadi “lembaga penghukuman” atau
“lembaga pembebasan”. Keduanya sama berbahaya.(*)